Cerita Ngentot FORGOTTEN MELODY

From the bottom of my heart
let me introduce you to, ladies and gentleman… to a brand new concept of story
a different world, a different life… less sex scene, more content
i would not say, a story of many sex scene in it, is a poor story or something like that
that’s a good story, i mean… yeah, honestly it’s a good story
well, i don’t know how to say…
umm, yeah… just forget it. whatever!
i just… want to introduce a something new
well, hope you enjoy!

########################
Selasa, 27 Februari 2007
Taman Pemakaman Umum Cikutra, Bandung

Seorang gadis remaja meratap di atas sebuah pusara yang tampak masih baru. Gadis itu mengenakan kemeja hitam, sama hitamnya dengan suasana hatinya saat ini. Air mata tidak mau berhenti mengalir keluar dari pelupuk matanya, terpancar kesedihan yang amat sangat yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu untuk mengungkapkannya. Gadis remaja itu meraung-raung, memanggil-manggil nama yang tertulis di papan nisan milik pusara itu. Tubuh kecilnya memeluk tanah merah yang masih basah, seakan tanah itu adalah sosok yang ditangisinya. Banyaknya orang dewasa yang berada di samping gadis itu juga tidak mampu membuatnya meninggalkan pusara. Tidak ada satupun yang berhasil membujuknya, atau sekedar menenangkannya.
“Nak Imel, sudah ikhlaskan kepergiannya. Mungkin ini yang terbaik untuk Dera.” Kata seorang wanita paruh baya yang dari tadi setia menemani gadis itu.
“Enggak mau, gak mau! Aku mau nemenin Dera! Aku gak bisa kalo enggak ada Dera!!” Tolak gadis itu. Tangisnya makin menjadi-jadi menambah kelam suasana sore itu.
“Imel…” Wanita itu menatap Melody, gadis remaja yang sedang meratap itu. Sorot matanya mengiba, memandang Melody penuh rasa kasihan.
“Ikhlaskan saja, saya sendiri… yang ibunya, yang melahirkannya, sudah merelakan kepergian Dera. Memang sudah takdir, apa boleh buat. Dera pasti merasa sedih jika kita, orang yang di tinggalkan, masih meratapinya. Masih tidak mau melepas kepergiannya.” Wanita paruh baya itu menepuk pundak Melody, berusaha menenangkannya.
“Tante gak ngerti gimana sedihnya saya! Pergi, pergi !! Tinggalin saya sendiri disini, saya mau sama Dera !! Deraaaaaa…. !!!” Melody memanggil-manggil nama Dera di sela tangisnya. Tiap orang yang melihat ini merasakan sakit yang amat sangat, melihat sendiri bagaimana seorang gadis bisa merasa begitu kehilangan.
Wanita itu berdiri, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dirinya menatap Melody sekali lagi.
“Imel…” Ujar wanita itu.
“PERGI !!!” Bentak Melody.
Wanita itu tersentak kaget, begitupun seluruh orang yang menghadiri pemakaman itu. Tidak sedikit dari mereka yang ikut meneteskan air mata, seperti ikut merasakan sesak yang dirasakan oleh Melody. Wanita itu membalikkan tubuhnya, berjalan menjauhi Melody. Menjauh dari pusara anaknya. Para pelayat pun ikut pergi, memberikan Melody waktu untuk sendiri. Untuk menangis bersama dengan hujan yang mulai turun rintik-rintik membasahi tanah, juga membasahi pipinya. Namun hujan yang turun tetap tidak mampu membasahi ruang kecil di hatinya. Ruang itu tetap gelap, lembap, dan suram. Tidak ada lagi sinar yang meneranginya, tidak seperti dulu. Saat Melody bersama Dera.

####################

Nama kamu indah, mendengarnya menenteramkan jiwa
Bagai bait-bait surgawi yang disatukan, membentuk satu rangkaian sempurna
Seperti halnya karya para maestro, aku pun ingin menjaganya
Seperti melodi…
Ya, kamu
Kamu adalah definisi sempurna dari nada-nada ku
Kamu lah melodi ku

####################
Kamis, 1 Maret 2007
Rumah Melody, Bandung

Dua hari berlalu semenjak pemakaman Dera, dan semenjak itu lah Melody terus mengurung diri di kamarnya. Melody masih terus menitikkan air mata tiap mengingat sosok orang yang sepertinya begitu berharga baginya. Melody mengunci pintu kamarnya, meringkuk di sudut kasur. Tidak ada cahaya yang dibiarkan masuk ke kamarnya. Melody menutup gorden, juga semua akses yang mungkin digunakan oleh orangtua nya untuk memaksa masuk. Melody membiarkan kamar itu gelap, hampir tanpa cahaya. Tok, tok, tok! Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Tidak berapa lama, suara berat seorang pria terdengar memanggil-manggil namanya.
“Imel, mel… ayo Imel makan dulu. Kamu sudah dua hari tidak makan loh.” Pria di seberang pintu itu mencoba membujuk Melody.
Melody diam membisu.
“Mel?” Pria itu bertanya sangat pelan, lembut dan halus.
Namun tetap tak ada jawaban. Melody sibuk dengan pikirannya yang menerawang jauh, bermain bersama kenangan. Kenangan dirinya bersama dengan Dera. Tanpa sadar Melody tersenyum kecil, saat mengingat tiap kenangan yang sudah dilaluinya bersama Dera. Air matanya menetes makin deras, jatuh susul menyusul melewati pipi, turun mengumpul di dagu, sampai kemudian jatuh ke lengannya. Melody menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangannya. Berusaha membendung air mata, namun gagal. Gadis itu tak bisa berhenti menangis, bahkan setelah dua hari kepergian orang yang begitu berharga baginya.

########################

Wahai gadis yang terlahir dengan nada bersamanya
Jika suatu saat aku pergi
Dan meninggalkanmu sendiri di sini
Jangan harapkan aku kembali
Jangan meratapiku
Jangan berhentikan waktu mu untuk tangisi aku
Lupakan aku
Aku hidup bersamamu, bersama kenangan kita
Dan jika aku pergi,
Maka aku pergi bersama dengan sebagian kenangan itu
Ku ambil bagianku, karena itu adalah milikku
Egois memang, namun itulah kenyataan
Segala hal tentangmu, biarlah kubawa ke dunia baru di sana
Cari dan temukan kenangan baru, juga nada baru
Temukan melodi baru
Lupakan aku, melodi lama yang pergi tinggalkanmu

#########################
Sabtu, 3 Maret 2007

Melody keluar kamar pada tengah malam, karena merasakan perutnya yang mulai meronta ingin di isi. Setelah lima hari, perutnya baru merasakan kembali apa itu rasa lapar. Dan hal ini yang membuatnya membuka pintu yang selama ini ditutupnya rapat-rapat. Melody berjalan diam-diam, mencoba untuk sebisa mungkin bergerak tanpa suara. Gadis itu tidak ingin membangunkan seisi rumah, dan membuat mereka repot dengan keberadaannya di tengah malam. Melody menuruni tangga, melangkahkan kaki-kaki mulus itu menuju dapur yang berada di lantai satu. Melody membuka lemari pendingin, mencari-cari makanan yang bisa dimakan. Diambilnya dua buah pisang, juga sebotol susu. Lalu membawanya kembali ke kamarnya. Melody tidak sadar, bahwa ada sepasang mata tajam yang menatapnya dari balik jendela dapur. Dan mata itu menghilang, tepat setelah Melody meninggalkan dapur.

#########################
Senin, 5 Maret 2007

Tepat tujuh hari setelah kepergian Dera untuk selama-lamanya. Melody tetap masih tidak bisa menerima kepergian Dera. Ada hal yang tidak diketahui oleh siapapun, selain Melody sendiri. Satu hal yang bahkan ingin sekali dilupakannya. Melody beranjak dari kasurnya, lalu menatap cermin. Matanya terlalu sembab, karena air mata yang terus menerus keluar dari pelupuk matanya. Melody mencoba tersenyum, namun gagal. Kembali air mata yang sempat mengering itu membasahi sisi matanya, mengumpul di bagian itu, kemudian turun melewati pipi yang tadi kering oleh air mata. Membentuk sebuah jalur baru di pipinya. Melody mengambil sebuah pengering rambut, lalu dilemparkannya benda itu ke arah cermin. PRAAANG !! Cermin pecah, menjadi serpihan beberapa serpihan besar dan banyak serpihan kecil yang tersebar di lantai kamarnya. Melody menyapukan tangannya ke meja, membuat seisi meja terlempar ke seluruh arah akibat sapuan tangannya. Melody berteriak frustasi, menjambak rambutnya sendiri sekuat mungkin. Kemudian gadis itu diam sejenak. Suasana berubah hening. Melody memandang foto Dera yang tertempel lekat di dindingnya, kemudian menghampiri foto itu. Diciumnya foto itu dengan bibir merah merekah miliknya, lalu mengelus-elusnya perlahan. Bagaikan sedang mengelus kekasih tercinta. Kenangan bersama Dera kembali terngiang di benaknya. Membuat Melody makin diliputi rasa frustasi dan putus asa. Melody kemudian membentur-benturkan kepalanya ke tembok, berusaha mengusir kenangan itu agar segera pergi. Namun gagal, berkali-kali Melody membenturkan kepalanya, berkali-kali pula kenangan itu berkelebat di benaknya. Memutar memori antara dirinya dengan Dera. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi. Hingga pada akhirnya, satu benturan keras membuatnya terhuyung-huyung. Kepalanya serasa berputar dengan cepat. Melody melemparkan tubuhnya ke kasur, untuk meminimalisir rasa pusing yang dirasakannya. Dia tidur telentang, dengan mata terpejam. Dia tidak perduli akan darah yang mulai mengalir dari pelipisnya yang robek akibat benturan kepalanya dengan tembok.
“Aku… mau ketemu kamu, sekali lagi. Dera…” Ujar Melody. Matanya membuka, menatap muram ke langit-langit.
Semilir angin berhembus menyelinap dari celah jendela yang tidak sepenuhnya ditutup oleh Melody. Angin itu begitu dingin, menghembus pelan di kaki mulus milik gadis cantik itu. Melody tetap diam, tidak mengindahkannya. Lalu udara di ruangan itu berubah drastis. Dingin dan suram, mencekam dan menekan. Seberkas kabut hitam yang tipis ikut menyelinap dari celah jendela tempat angin tadi masuk. Kabut itu berkumpul, menjadi makin pekat. Sebuah angin menghembus kuat, menghempaskan kabut itu ke segala arah. Kemudian sirna. Dibalik kabut itu sekarang berdiri seorang pria yang cukup subur, memakai jas hitam yang agak ketat, serta sebuah topi bundar hitam yang tinggi. Celana hitam dengan garis-garis putihnya terlihat membesar di bagian paha dan menyusut di bagian betis sampai kaki. Pria itu mengangkat topi yang dipakainya agak tinggi, kemudian menaruhnya di depan dada sambil sedikit mengangguk. Tanda memberi salam.

“Salam, wahai jiwa yang sedang berduka.” Ujar pria itu sopan. Kata-katanya misterius.
Melody beranjak dari tidurnya, langsung terduduk kaget mendapati tiba-tiba ada seorang pria gemuk yang berada di dalam kamarnya. Melody memandang pria itu penuh curiga, lalu menoleh ke kiri dan kanan. Dia tidak mendapati bahwa ada lubang yang cukup besar bagi pria itu untuk masuk. Memang, celah jendela memungkinkan bagi angin untuk berhembus masuk. Namun untuk ukuran pria itu, rasanya tidak mungkin baginya untuk masuk dari celah jendela. Jelas suatu hal yang mustahil. Melody beringsut menjauhi pria itu. Rasanya, ada yang tak beres dengan ini, pikir Melody.
“A-anda… anda siapa?” Melody memberanikan bertanya.
Pria itu menghela napas, kemudian menyeringai menakutkan. Memperlihatkan kedua taringanya yang panjang dan menyeramkan.
“Aku adalah Earl, sang pengabul permohonan. Apapun yang kau mau, aku bisa mengabulkannya.” Pria itu memperkenalkan dirinya.
Otak Melody berpikir cepat. Ada seseorang yang memperkenalkan diri sebagai pengabul permohonan, tepat ketika hati terdalamnya menginginkan Dera untuk kembali. Jelas dia bukan manusia biasa, atau bahkan bukan manusia. Melody meneguk ludah, apa yang akan dikatakannya setelah ini mungkin akan menjadi penyelasan seumur hidupnya. Rasa rindunya terhadap Dera mengalahkan logika, bahkan rasa takut. Melody menatap pria itu tajam.
“Anda pasti iblis kan? Langsung saja, saya bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Anda pasti tau apa yang sama mau, yang saya butuhkan. Apapun syaratnya akan saya penuhi, bahkan jika harus menyerahkan jiwa saya.” Ujar Melody tanpa ada rasa takut.
Pria itu tersenyum licik. Seringainya kian lebar, menghiasi wajah bengisnya.
“Heh, gadis yang cepat tanggap. Tapi sombong dan tanpa perhitungan. Benar… aku bukan manusia. Aku adalah Earl, the Thousand Years Old Phantom. Banyak sebutan lain untukku. Ada yang memanggilku the Wish Maker, the Contractor, the Clown. Yang paling keren adalah, the Chaos Bringer. Huahahaha, terdengar keren bukan, manusia?” Jawab pria itu.
“Tolong hentikan hal konyol ini. Saya hanya mau Dera kembali ada disini bersama saya. Apapun syaratnya, akan saya penuhi.” Balas Melody kesal.
“Hmm, bagaimana jika kuminta tubuhmu, hah?” Pria yang dipanggil Earl itu bertanya langsung kepada Melody.
Melody tersentak, ternyata pria ini serius. Sejenak Melody merasa ragu, namun kemudian ditepisnya rasa ragu itu jauh-jauh dari hatinya. Melody harus siap akan semua ini. Gadis itu tanpa pikir panjang mulai membuka kancing piyamanya, satu persatu dengan cepat. Hingga memperlihatkan tubuh mulus bagian atasnya, serta mempertontonkan buah dada yang tidak besar namun sekal itu. Melody tidak memakai bra atau sejenisnya, membiarkan dua buah daging kenyal itu bebas tanpa kurungan. Darah yang mengalir dari pelipisnya kini turun melewati lehernya, terus menuju bagian dadanya. Lintasan darah itu melewati putingnya, terus turun sampai menghilang dibalik celananya.

Earl mendekati gadis itu perlahan. Pria itu menjulurkan lidahnya, yang anehnya terus terjulur sampai sekitar satu meter panjangnya. Mula-mula Earl menjilati darah yang keluar dari pelipis Melody. Menjilat sampai tidak ada lagi darah yang tersisa di luka itu. Earl menarik kembali lidahnya, merasakan darah milik Melody.
“Hmmm, ah… found it! The Soul of Purity.” Kata Earl.
Earl kembali menjulurkan lidahnya yang kali ini menelusuri arah turunnya darah dari pelipisnya. Lidah itu terus turun menjilati pipi Melody, terus ke lehernya kemudian berhenti tepat di pinggir buah dadanya. Melody menarik napas, melihat dengan mata kepalanya sendiri dirinya diperlakukan seperti itu oleh Earl. Pria gemuk itu kembali melanjutkan aktivitasnya, kini menjilat-jilat bagian payudara Melody. Tidak lupa puting merah muda milik Melody dimainkannya, membuat gadis itu merasakan suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Melody menggelinjang geli, rasa sakit di pelipis yang sedari tadi dirasakannya berganti menjadi rasa nikmat di sekitar putingnya.
“Uuuuh, geli… hahh hahh.. Aku ngelakuin ini untuk Dera.. sshh… aaahhh… ya, untuk Dee…rraaahhh…”
Akal sehat Melody menghilang. Gadis itu mendesah-desah serta meremas payudaranya yang lain.
“Mmmhhh…. Yaaa.. terus begitu, aaahhh…” Desah Melody keenakan.
Earl menarik kembali lidahnya sesudah menjilat habis darah yang mengalir keluar dari pelipis Melody. Dan Melody yang baru saja di dera nikmat, harus menerima perlakuan itu. Gadis itu hanya bisa terpaku lugu saat Earl menertawakannya.
“Huahahahaha, kau percaya aku benar-benar menginginkan tubuhmu, gadis kecil?!” tanya Earl. Pandangan matanya dibuat seperti mengejek.
“Uh, oh. Aku kira…” Melody tergagap menjawab pertanyaan dari Earl.
“Bukan itu. Bukan… khik khik khik. Aku akan menghidupkan Dera, orang terkasihmu. Dengan syarat…” Earl memotong kalimatnya.
“Apa? Apa?!” Melody yang tidak sabar bangkit dari duduknya, menerjang ke arah Earl.
“Huh, manusia belakangan ini begitu tidak sabar. Nah, karena kau adalah klien spesial, maka kontrak perjanjian nya juga beda. Ambil ini.” Earl merogoh sesuatu dari balik jasnya. Kemudian menyerahkan kertas itu kepada Melody.
Melody membacanya dengan seksama, dari atas sampai bawah. Lalu gadis itu menatap Earl dengan pandangan tajam. Iblis ini pasti tidak serius, pikir Melody.
“Hanya ini?” Selidik Melody berusaha meyakini hal ini.
“Ya, hanya itu. Bagaimana? Sanggup?” Tawar Earl.
“Aku sanggup.” Jawab Melody mantap.
“Baiklah, tutup matamu dan hitung sampai tiga. Semua yang kau mau akan terkabul. Kuhahaha !! Huahahaaa !!” Earl tertawa begitu keras, memenuhi ruangan. Entah tawa itu terdengar sampai ke kamar orangtuanya atau tidak.
Melody menutup matanya rapat-rapat. Kemudian menghitungnya sampai tiga. Melody membayangkan bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu dengan Dera. Ya, sebentar lagi dirinya bisa kembali bercanda dengan cowok itu. Jantung gadis cantik itu berdetak lebih cepat dari biasanya, diliputi oleh sensasi kesenangan yang luar biasa yang belum pernah dirasakan oleh Melody sebelumnya. Dan saat hitungan sampai pada angka tiga, Melody membuka mata perlahan. Lalu samar-samar dirinya melihat Earl bersama dengan sesosok pria. Bukan, ternyata itu adalah sesosok remaja laki-laki. Tubuhnya telanjang, tanpa sehelai benang pun menutupinya.
“De..ra?” tanya Melody ragu-ragu.
Earl menjentikkan jarinya, dan perlahan kesadaran Melody memudar. Kepalanya terasa berputar-putar dengan cepatnya, begitu berat. Melody menjatuhkan tubuhnya sendiri ke atas kasur, jatuh tertidur. Earl yang melihat hal itu, tersenyum puas. Lalu mengajak remaja laki-laki di sebelahnya untuk ikut bersamanya. Menuju sisi lain dari alam kematian.

#################################
Rabu, 7 Maret 2007

“Trauma yang begitu hebat mungkin akan membuatnya menjadi seorang yang apatis, nyonya. Kemungkinan… seumur hidupnya dia akan menutup diri dari kehidupan sosial. Ditambah… gegar otak ringan akibat benturan di kepalanya, akan memperburuk keadaan. Mungkin butuh waktu lama baginya untuk sembuh.” Kata dokter kepada seorang wanita. Dan wanita itu adalah Ibu Melody.
“Imel… kenapa jadi begini… kenapa, kenapa harus kamu mel yang ngerasain ini semua. Kenapa mel…” Ibu
Melody meratap. Air mata menetes dari pelupuk matanya.
“Ma, kakak kenapa? Emang kak Dera itu berarti banget ya ma, sampe… kakak jadi begini.” Frieska Anastasya Laksani bertanya kepada ibunya.
“Gak tau… mungkin udah saatnya kita tanya langsung sama kak imel…” Ucap ibunya lirih.
Secara kebetulan, Melody mulai membuka matanya perlahan. Dirinya melihat sekeliling, didapatinya ibu serta adiknya sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan seorang pria berpakaian putih yang tidak lain adalah dokter pribadi keluarga Laksani sedang berdiri disamping mereka berdua. Melody memegang kepalanya, karena merasakan sedikit rasa sakit. Didapatinya kepalanya kini di perban. Melody menatap ibunya lekat-lekat.
“Mama…” Ucap Melody lirih, hampir tak terdengar.
Ibu Melody menengok ke arahnya. Kaget, bercampur haru. Begitupun dengan Frieska, sang adik. Kedua anggota keluarga itu begitu antusias menyambut Melody yang baru saja sadar dari tidur panjangnya. Frieska lalu merangkak di atas kasur, mengampiri sang kakak.
“Kak, syukurlah kalo udah sadar. Kakak gak boleh terus-terusan sedih, kasihan kak Dera di alam sana nanti kak.” Ucap Frieska lugu.
Melody terpaku, tidak mengerti apa yang diucapkan oleh adiknya.
“Dera? Dia itu… siapa?” tanya Melody yang kini sama lugunya, tidak dibuat-buat.
“Jangan bercanda kak! Enggak lucu! Nama temen kecil sendiri gak inget, keterlaluan kakak!” Frieska berkata dengan nada yang meninggi. Baginya, jika ini adalah sebuah candaan karena ingin memberi surprise, maka hal ini sudah keterlaluan.
“Aku… bener-bener gak tau, Dera itu siapa. Aku inget kalian semua, tapi… Dera?” Melody menunjukkan wajah serius. Frieska tahu, kakaknya tidak bercanda atau berbohong sama sekali.
Sekarang, ibu serta adiknya juga dokter saling berpandangan. Mereka bertiga heran, tidak mengerti kenapa bisa begini. Dalam benak mereka penuh dengan tanda tanya yang bahkan tak bisa diungkap oleh kata. Dan suasana berubah hening seketika.

###############################
6 tahun kemudian…

27 Februari 2013
Jakarta, Indonesia

Sore itu St. Michael dan Eziel baru saja tiba di bumi. Eziel sadar, jika pangkat tinggi seperti St. Michael sampai turun, jelas ada sesuatu yang buruk sedang berlangsung di muka bumi. Dan merupakan sebuah kehormatan bagi Eziel untuk mengemban tugas bersama dengan St. Michael. Eziel telah bertekad untuk berusaha sekeras mungkin di tugas pertamanya ini, agar bisa membanggakan atasannya tersebut. St. Michael mengepakkan sayap-sayap emasnya, turun perlahan mencari sebuah pijakan. Rambut panjang emas nya berkibar indah diterpa angin bumi, melambai-lambai menarik mata Eziel yang terbang di belakangnya. Dan atap menara Gereja Katedral menjadi pijakannya, disusul dengan Eziel setelahnya. Eziel termenung sejenak, memandang heran ke langit. Rasanya, saat perjalanan mereka tadi cuaca masih cerah, bahkan terik. Namun cuaca berubah drastis hanya dalam waktu yang singkat. Eziel mendongak ke atas, memperhatikan langit yang sekarang sepertinya akan mengamuk, mempertunjukkan petir-petirnya. Tapi bagi makhluk seperti St. Michael dan Eziel, mereka menyebutnya “tarian langit”.
“Eh? Kenapa tiba – tiba langit menari?” Eziel mendongak ke langit.
“Ayo, Eziel. Waktu akan terbuang percuma jika kau hanya memandangi langit seakan baru pertama kali melakukannya.” St. Michael mengambil langkah menuju tepi.
“Tapi… St. Michael, langit tadi cerah. Bukankah aneh jika tiba – tiba akan turun hujan?” Eziel masih bersikeras, yang tentu saja memancing kekesalan sosok di hadapannya.
“Eziel, vi avverto! ” St. Michael sedikit membentak. Disaat yang bersamaan, petir menggelegar merobek langit mendung Jakarta.
“Le mie scuse, San Michele.” Eziel tertunduk, diam dan takluk.
St. Michael melompat dari tepi menara Gereja Katedral, sedetik kemudian dua buah sayap keemasan yang sangat lebar mengembang dari balik jubahnya. Kemudian dengan satu kepakan kuat, St. Michael terbang tinggi meninggalkan Eziel, terbang menuju langit yang menghitam seakan menantang petir yang masih sahut – menyahut menggelegar di hadapan jalur terbangnya.
Eziel mengembangkan sayapnya, mengepak pelan namun pasti mengangkat tubuhnya tinggi menjauh dari pijakan menara. Sayap – sayap coklat itu kembali mengepak, laksana burung yang terbang perlahan menuju langit. Dan meninggalkan sehelai bulu coklat yang melambai pelan turun menuju tanah.

######################################
*translate (italia)

vi avverto! = aku peringatkan kau!
Le mie scuse, San Michele. = aku minta maaf, St. Michael

Sosok tubuh mungil itu berjalan melewati bangunan gereja tua yang berdiri tepat di sampingnya. Rintik hujan yang turun memaksanya untuk mempercepat laju jalannya. Setengah berlari, gadis itu menelusuri trotoar berusaha mencapai halte terdekat hanya untuk berlindung dari serangan air hujan. Setelah berhasil mencapai halte, gadis itu menarik napas, kemudian menghelanya pelan. Diambilnya sebotol minuman isotonik dari dalam tas ranselnya. Tutup botol pun dibuka, lalu diarahkannya ujung botol itu menuju bibir merah merekah miliknya. Diteguknya perlahan, sedang sisa air menetes keluar dari bibir turun melewati leher putihnya, menelusuri kulit bening itu hingga tak tampak lagi karena terhalang kaus putihnya.
“Capeeeeeek, pacaran ngumpet – ngumpet itu ternyata begini ya. Capek!” Gadis itu mengeluh. Masih tersisa guratan – guratan lelah di wajah cantiknya.
“Umm, kok tumben sepi banget yah? Duh, taksi mana sih? Kalo lagi butuh aja ga dateng – dateng.” Gadis itu kembali mengeluh, kesal dengan keadaan.
Sehelai bulu coklat perlahan turun menuju kearah gadis itu. Hembusan angin yang cukup kuat membuatnya terhempas, mendarat sukses di rambut lurus sang gadis.
“Eh? Apa sih ini? Bulu? Kok warnanya coklat? Emang ada burung yang bulunya sebesar ini ya? Kok malah jadi nanya sendiri sih? Kok masih diterusin? Ah, Melody! Fokus dong ah.” Gadis itu menampar – nampar pelan pipinya.
Tidak lama berselang, sebuah sedan bercat biru menepi tepat di depan halte. Gadis itu dengan sigap melambaikan tangannya, membuat si sopir menepikan kendaraannya. Dibukanya kaca mobil taksi itu, dan sesosok muka gemuk melongok ke luar jendela.
“Pak, taksi kan? Anterin dooong…” Rajuk gadis itu agak manja.
“Iya neng, ini taksi lah. Si eneng mah ada – ada aja. Emang mau ke…” Si sopir spontan menghentikan kata – katanya.
“Kenapa pak?” Tanya si gadis keheranan.
“Neng… neng Melody ya? Ini neng Melody Nurramdhani dari JKT48? Iya kan?” Si sopir melontarkan pertanyaan yang bermaksud sama secara berulang – ulang, hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang ada di hadapannya adalah orang yang dia maksud.
“Iya pak, saya Melody. Hehe.. bapak tau aja. Kirain yang kenal cuma anak muda aja hehehe…” Melody tertawa kecil. Tawa yang manis.
“Eh, masuk dulu neng. Sini bapak bukain pintunya.”

Dan tanpa menunggu jawaban dari Melody, supir taksi itu beranjak dari duduknya, membuka pintu mobil lalu dengan tergesa – gesa berlari menghampiri Melody. Perawakannya yang tambun dan tua membuatnya sulit untuk bergerak lincah, dan jelas Melody jadi merasa tidak enak hati karena merepotkan orang tua itu. Sopir itu lalu membukakan pintu belakang untuk Melody, kemudian dengan satu lambaian tangan halus, mempersilahkan gadis cantik itu untuk duduk di dalam kursi taksinya.
“Ih, bapak. Gak usah repot – repot tau. Saya kan bisa buka sendiri.” Melody merasa tidak enak karena diperlakukan agak istimewa.
Melody mendaratkan bokong sintalnya di jok belakang taksi itu. Setelah membetulkan posisi duduk, Melody mengambil smartphone yang sedari tadi ada di tas ranselnya.
“Gak apa – apa neng. Khusus buat neng Melody pokoknya pelayanan super spesial deh. Oh, iya neng Melody mau dianter kemana?” Kata si sopir. Sekarang dia sudah berada di seat pengemudi.
Melody sedikit beranjak dari duduknya, menghampiri si sopir. Kemudian membisikkan sesuatu kepadanya. Sopir itu hanya manggut – manggut, kemudian sopir itu mengacungkan jempolnya tanda mengerti.
“Siplah neng. Meluncur kitaaaa…!”
Dan taksi itu pun melaju meninggalkan halte. Suasana sepi kembali menyelimuti halte itu, membiarkan lantainya dihiasi daun – daun yang berguguran. Pun pemandangan suram tak jauh berbeda dengan langitnya. Langit Jakarta sore itu kembali memunculkan nuansa gelapnya, seperti hari – hari sebelumnya. Membiarkan awan hitam berkumpul padat laksana busa pada sebuah air. Petir demi petir menari – nari, membentuk garis – garis acak di langit. Dan hujan yang tadinya hanya rintik – rintik, kini memberondong deras menghujam tanah. Tapi cuaca serta pemandangan suram sore itu tetap tak mampu menggoyahkan sosok yang berjalan pelan melewati halte itu. Tak perduli sebasah apapun jaket hitam nya, sosok itu terus menatap taksi yang ditumpangi oleh Melody. Sorot matanya tajam, namun teduh. Menyiratkan banyak hal yang tidak bisa diungkap kata. Sesaat bibirnya bergerak pelan, mengucap satu kalimat.
“Finally. Find you, Melody.”
Sosok itu kembali berjalan menelusuri trotoar, tak mengindahkan hujan yang terus mengguyur tidak hanya dirinya, namun juga sebagian Jakarta pada sore itu.

###########################

“Melody, jangan kesana ! Bahaya !” Teriak suara anak laki – laki itu lantang.
“Enggak apa – apa kok, aku bisa kok lompatin nya !” Kali ini terdengar suara Melody, yang tak mengindahkan kata – kata anak laki – laki itu.
Sejurus kemudian batang pohon tempat Melody berpijak patah, menggoyahkan keseimbangannya dan mengantarkan tubuh itu tepat ke arah sungai dibawahnya.
“Melody, batangnya patah ! Batangnya patah !” Anak laki – laki itu menerjang kearah Melody, namun terlambat.
Dan tiba – tiba keadaan sekitar menjadi gelap. Begitu gelap. Gelap dan hitam.

############################

Melody spontan membuka matanya. Beberapa bulir keringat dingin mengalir dari keningnya, turun melewati wajah cantik dan mulus itu. Melody menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Dirinya membayangkan lagi tentang mimpi yang baru saja di alaminya.
“Mimpi itu lagi… Kok, akhir – akhir ini sering mimpi tentang itu terus ya ?”
Melody jatuh tertidur dalam taksi yang sedang ditumpanginya. Kelelahan membuatnya tidak bisa terlalu lama menahan kantuk yang menyerang. Melody lalu melihat sekitar, taksi berhenti tepat di sebuah lingkungan asing yang sama sekali tidak di kenalnya. Sepertinya dia tidak ingat bahwa jalan menuju basecamp JKT48 itu harus melewati kebun – kebun dan banyak bangunan tua. Dirinya menengok ke depan, ke arah kursi dimana si sopir duduk mengemudikan taksinya. Namun sopir itu tidak ada, hanya tersisa selembar handuk kecil berwarna merah yang tergeletak di kursi pengemudi. Melody mengambil tasnya, lalu membuka pintu belakang taksi. Kemudian gadis cantik itu mencari – cari ke sekelilingnya, berharap menemukan orang yang di maksud. Namun sepanjang matanya melihat, yang terpampang hanyalah pohon – pohon rimbun dan tua, juga gedung – gedung dengan tembok yang retak dan cat yang sudah usang. Gadis itu mulai panik, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pikirannya mulai kalut, membayangkan bahwa terjadi sesuatu kepada bapak supir itu. Atau, yang lebih buruk… supir itu telah bekerja sama dengan orang lain untuk melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Gadis cantik itu tidak bisa lebih panik lagi, dengan tangan mulus yang gemetar dirinya membuka pintu mobil bagian belakang. Melody kembali melihat sekeliling. Raut wajahnya kini diliputi ketakutan yang amat sangat, saat mendapati dirinya kini berada di lingkungan yang benar-benar asing.
“Ini… dimana ya ? Kenapa… kenapa aku bisa ada di sini ?”
Dari belakangnya, tepatnya dari tepi tembok bangunan yang tidak tersentuh cahaya mentari sore, satu sosok tambun sedang memperhatikannya dengan seksama. Dua pasang matanya menatap tajam mengawasi tiap gerak – gerik Melody. Dengusan – dengusan napasnya menjijikan, penuh nafsu yang tertahan. Sosok tambun itu perlahan mendekat, hampir tanpa suara. Membentangkan jari – jemari gemuk nya, berusaha menggapai Melody. Dan saat jemari gemuk itu kian mendekat hampir menyentuh pundak sang idola, Melody membalikkan badannya. Melody kaget, mendapati seseorang tiba-tiba berada di belakangnya. Melody spontan ingin berteriak, namun entah mengapa teriakannya tertahan, hanya sampai di tenggorokannya. Lalu gadis cantik itu refleks melompat sampai tiga jengkal dari tempatnya semula berdiri. Napasnya memburu, jantungnya berdetak cepat hingga terasa sangat sakit pada bagian dadanya.
“Neng… neng, tenang neng. Tenang !” Sosok tambun yang tidak lain adalah si supir itu berusaha menenangkan Melody. Tangan nya kini terangkat agak ke atas, menunjukkan bahasa tubuhnya.
“Bap-bapak… dar—rriiimana ajaaa ?” Dengan suara gagap dan parau, Melody masih memberanikan bertanya.
“Bapak abis cari bengkel neng, soalnya ini taksi tiba-tiba mogok. Cuma ga ketemu bengkelnya…” Si supir memberi penjelasan singkat.
“Bapak mau coba utak-atik mesin nya lagi, neng Melody duduk aja ya di dalam taksi.” Sambungnya.

Melody menepikan tubuh sintalnya untuk bersandar pada tembok yang mulai retak di belakangnya. Matanya nanar memperhatikan supir tambun yang kini sedang membuka kap mobil. Ingin sekali logika nya untuk percaya bahwa semua ini hanya kendala kecil sebelum dirinya benar-benar berada di antara teman – temannya. Namun entah kenapa sebuah rasa aneh yang berada jauh di dalam hatinya, membisiki nya untuk lari dari semua ini. Lari dari kejadian yang seharusnya wajar ini. Tapi Melody buru – buru menepiskan rasa aneh itu, dan berusaha percaya pada logika nya. Melody mengatupkan kedua tangan nya, erat. Lalu mengambil langkah kecil, menjauhi tembok menuju mobil taksi. Hampir saja dia berpikir bahwa semuanya akan segera selesai, dan dirinya akan segera berada bersama anggota JKT48 yang lain, jika saja mata Melody tidak iseng curi –curi pandang ke seragam supir itu. Melody melihat hal yang ganjil, seharusnya jika supir tambun itu sedang membetulkan mesin, maka seragamnya berlumur oli. Tapi… tapi… kenapa warnanya merah ? Dan begitu kental ? Apa… apa mungkin itu darah? Raut wajahnya pun berubah pucat pasi. Melody menjaga jarak, mundur perlahan menjauhi sang supir yang masih sibuk mengutak-atik mesin mobil. Ingin rasanya dia berteriak, namun tenggorokannya serasa tercekat. Matanya membelalak, menatap lebar ke arah si supir. Dan yang ditatap seperti tahu apa yang ada di benak penatapnya. Mata supir itu curi-curi pandang, ke wajah cantiknya, ke dada nya yang tidak besar namun sekal, ke perutnya yang rata, ke kulit putih mulusnya, serta ke seluruh bagian-bagian tubuh si cantik Melody.
“Neng Melody… cantik yah. Saya… saya pasti jadi orang paling bahagia kalo bisa nemenin eneng.” Celetuk si supir tambun itu.
“Nemenin ? Nemenin apa maksudnya bang ?” Melody makin mundur ke belakang, penuh dengan rasa waspada dan takut.
“Nemenin… yah, nemenin neng Melody. Tiap saat, ga boleh lepas dari sisi saya neng. Khik..khik..khik..” Jawab supir itu. Ditambah tertawa terkekehnya yang misterius.
Melody bergidik ngeri. Rasa takut yang tadinya merayap perlahan dalam hatinya, kini serentak menyelimutinya. Sementara raut wajah supir itu berubah drastis, dari yang tadinya bersahaja kini berubah bengis. Air liurnya menetes, matanya membelalak lebar, terus memandangi Melody dengan pandangan menjijikan. Jika Melody diberi kesempatan untuk lari, maka sekaranglah saatnya. Namun sayang, lututnya bahkan terlalu gemetar untuk menopang tubuh sintalnya. Apa lagi untuk lari. Melody hanya bisa merapat di tembok, tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya. Sementara si supir, memandangi Melody tanpa berkedip sedikit pun, menikmati tiap detiknya momen dimana Melody di dera ketakutan yang amat sangat.
“Sarsa, un Vara.”
Entah kenapa, Melody teringat kata-kata itu. Sebuah kalimat yang tiba-tiba terngiang-ngiang di benaknya, tanpa tahu apa dan kenapa hal itu bisa terjadi. Bersama dengan itu, rasa sakit yang hebat mendera kepalanya, menusuk-nusuk kepala itu seakan ingin memecahkannya.
“La sierre, del Sarsa.. un Vara.”
Kembali kalimat itu memenuhi pikirannya, dan membuat kepalanya semakin merasakan sakit yang amat sangat. Melody memegangi kepalanya sendiri, mencengkeram serta menjambak rambutnya, tak kuat menahan sakit. Namun hati kecilnya yakin, bahwa dia harus mengucapkan kata-kata itu. Mengucapkan dengan lidahnya sendiri.
“Itu apa sih, kenapa tiba-tiba terngiang-ngiang di kepala aku ? Uuuhhh, sakit…” Kata Melody dalam hati.
“Kenapa neng ? Sakit ya ? Mau saya bantu neng, bantu urus ? Khik, khik khik khik..” Tanya si supir, kembali disertai tawanya yang aneh dan misterius itu.

#######################
Ingatan Melody berputar, sekejap pindah menuju satu ingatan yang misterius. Dalam ingatannya, sesosok bocah laki-laki sedang menunjukkan sebuah buku kecil kepada Melody kecil. Bocah laki-laki itu membuka buku, kemudian menunjuk pada satu halaman.
“Melody, liat deh. Ini mantera yang sering di ucapkan oleh bangsa Portugis kuno. Coba baca.” Ajak bocah itu.
“Apaan sih, kamu emang suka sih ya sama hal-hal begini. Aku ribet bacanya ah, enggak mau.” Tolak Melody kecil langsung, tanpa basa-basi.
“Coba aja baca dulu. Nih, coba ikutin.” Kembali bocah itu mengajak Melody kecil untuk menuruti keinginan nya.
“Yaudah deh, tapi abis ini udah ya. Janji?”
“Janji. Oke, ikutin ya.”
“Iya.”
“La sierre…” Bocah itu menuntun Melody mengucapkan sesuatu.
“La sierre…” Dan Melody kecil mengikutinya.
“del Sarsa.”
“del Sarsa.”
“un, Vara…” Bocah laki-laki itu mengakhiri kalimatnya.
“un, Vara…” Melody mengikuti bocah itu mengucapkan sebuah kalimat, dari awal sampai akhir.
“Sekarang, coba ulang. Mantera ini konon berguna saat kamu takut, atau saat sedang di ganggu hantu.” Jelas bocah itu.
“La sierre… del Sarsa, un Vara.” Melody kecil mengucapkannya dengan lancar.
“Tuh bisa kan, inget-inget ya. Suatu saat, pasti berguna deh. Aku yakin.” Bocah itu menggenggam tangan Melody kecil erat-erat. Dan Melody membalasnya, saling menggenggam tangan dalam satu suasana romansa masa muda remaja.

##########################
Ingatan Melody kembali ke masa sekarang, masa dimana kepalanya sedang merasakan sakit yang amat sangat. Melody segera menyiapkan hatinya, lalu mengingat-ingat kalimat yang tadi terngiang-ngiang di ingatannya.
“La sierre, del Sarsa.. un Vara.” Ucap Melody, singkat. Bersama dengan seluruh keberaniannya, dan kemampuan terakhirnya untuk tetap bertahan dari rasa sakit yang menyergap tiba-tiba.
Dan ajaib, sekejap rasa sakit itu sirna. Ya, sakit seperti ditusuk-tusuk di bagian kepalanya itu mendadak sirna sesaat setelah Melody mengucap kalimat yang sama sekali asing baginya. Sebuah kalimat yang begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Dan tidak hanya itu, Melody merasakan bahwa ada keberanian yang membuncah di dadanya, begitu hebat hingga membuatnya merasa kuat. Dan Melody tahu betul bahwa ini lah kesempatannya untuk kabur, lari dari situasi ini. Melody mengambil langkah ke belakang, memutar badannya dan dengan satu momentum kuat, Melody berlari sekuat tenaga menjauh dari tempat itu. Melody terus berlari, lari dan lari. Melewati gang sempit, jalanan becek dan gelap, melewati ilalang, tumpukan sampah. Hingga kakinya tersandung, membuatnya jatuh ke tanah basah dan merah. Melody berlumur tanah sekarang, namun dirinya bangkit lagi dan meneruskan berlari.
“Yah, si eneng kenapa lari… Padahal, saya kan mau nolongin eneng. Dua orang itu bahaya neng, mereka ngincer kamu, Melody.” Komentar pria tambun itu, singkat.
Si supir kini berjalan pelan, menuju bagasi mobil. Lalu dia membuka bagasinya, mengambil sesuatu, atau…. Seseorang. Bukan, bukan seseorang. Melainkan seonggok kepala yang telah putus dari badannya, menjambak rambut yang masih menempel di kulit kepala itu, dan menjinjingnya layaknya sebuah tas. Sisa darah menetes dari urat lehernya yang telah putus, merembes ke tanah. Supir itu meninggalkan taksi nya begitu saja, mengikuti arah lari Melody, sambil bersiul-siul riang, kadang di iringi dengan potongan sebuah lagu kelam.

“I live with are numberless, Little white flowers
Will never awaken you, Not where the black coach of
Sorrow has taken you
Angels have no thought, Of ever returning you
Would they be angry
If I thought of joining you ?”
“Gloomy Sunday”

###########################
Eziel terus terbang di antara awan hitam, mengikuti St. Michael yang ada di depannya. Sayap cokelatnya terus mengepak tanpa lelah, menelusuri langit mendung Jakarta. Diri nya masih membayangkan tentang apa yang akan terjadi nanti, dan mengapa diri nya bisa ikut serta dalam misi ini. St. Michael, sang malaikat besar tentu mempunyai alasan mengapa diri nya turun langsung ke bumi, serta mengajak Eziel bersama nya. Namun, hati Eziel masih enggan untuk menanyakan langsung perihal alasan misi ini. Sementara mata St. Michael menatap tajam ke bawah, seperti sedang mengawasi sesuatu. Diri nya terus mencari, mungkin saja ada gerak-gerik mencurigakan. Malaikat itu sadar, hawa jahat yang dirasakan nya ketika baru saja tiba di langit bumi jelas bukan hawa jahat dari iblis biasa. Dan ketika diri nya menginjakkan kaki di atap menara Gereja Katedral, hawa jahat itu kian terasa kuat. Begitu menekan, serta mencekam.
“Eziel, kau merasakan nya juga bukan ? Sampai tadi, hawa itu terus bergerak perlahan. Namun, hawa jahat itu tiba-tiba berkumpul di satu tempat. Dan kau pasti sadar, sebagai anggota regu eksekusi kau sudah bisa membedakan mana hawa jahat milik iblis biasa dan iblis besar.” St. Michael membuka pembicaraan.
“Benar, St. Michael. Ini… jelas milik iblis besar. Tidak salah lagi.” Ucap Eziel membenarkan perkataan St. Michael.
“Jelasnya, ini milik salah satu dari the Accursed. Earl, the Thousand Years Old Phantom.” Jelas St. Michael.
Eziel bagai di sambar petir saat mendengar nama Earl. Tubuhnya bergidik ngeri saat membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh iblis satu itu. Earl, sang hantu berumur seribu tahun adalah momok tersendiri bagi para malaikat, juga bagi bangsa iblis itu sendiri. Gelar nya sebagai the Accursed, juga sepak terjang nya memporak-porandakan dunia malaikat dan iblis, mengacaukan dimensi antar dunia, serta berbagai kejahatan lain nya membuat nama Earl begitu ditakuti di seantero dimensi. Dan sekarang kabarnya Earl mempunyai satu lagi senjata yang membantunya mengacaukan bumi. Senjata hidup yang rumornya bahkan menyamai kekuatan para arch angels.
“Jadi, jadi… misi kita kali ini… berhadapan dengan Earl ?” Tanya Eziel memastikan.
“Ya.” Jawab St. Michael singkat.
St. Michael mengepakkan sayapnya kuat-kuat, menimbulkan hempasan angin maha dahsyat yang menyingkirkan awan di sekitarnya. Lalu dirinya terbang ke atas lalu serentak bersalto di udara, untuk kemudian menukik ke bawah. Terus turun menuju permukaan, melewati kumpulan awan hitam dan petir yang masih dengan bebasnya menari-nari indah di langit. Ingatan St. Michael menerawang jauh, menembus batas memori. Kembali ke dua puluh empat hari sebelumnya.

###########################
24 hari sebelumnya…
Eden, 7th Heaven

“Bagaimana ini, sepak terjang iblis itu jelas tidak bisa dibiarkan lebih jauh lagi !” Tegas seseorang dengan baju zirah berwarna perak yang begitu mengkilat diterpa cahaya.
“Sabar, Azazel. Justru karena hal itu lah kita berada disini.” Sambung seseorang yang sibuk memainkan rambut pirang indahnya.
“Hentikan sikap tidak seriusmu, Raphael ! Dan bagaimana aku bisa sabar, Earl telah berbuat terlalu jauh, melanggar kesepakatan antara kita dengan para iblis !” yang dipanggil Azazel membalas komentar Raphael.
“Dinginkan kepala kalian. Gabriel mengundang kita semua rapat, bukan untuk berdebat.” Seseorang dengan rambut panjang keemasannya menengahi konflik singkat antara Azazel dengan Raphael.
“Tapi, St. Michael yang agung… sikap Raphael yang selalu menganggap enteng semua hal membuatku gemas !” Azazel menggebrak meja. Luapan energi akibatnya menggetarkan seisi ruangan. Azazel menatap tajam ke arah Raphael, seperti ingin menantang malaikat besar yang satu itu.
Tiba-tiba gerbang besar di ruangan itu terbuka, menimbulkan hempasan angin yang kuat ke dalam ruangan. Di susul dengan kabut putih yang begitu menyilaukan, namun begitu nyaman menyelimuti tiga malaikat yang sedang duduk mengitari meja lebar nan megah di ruangan itu.
“Azazel, bisakah kau hentikan amarah sia-sia mu itu ? Sebaiknya dengarkan kata St. Michael, kata-katanya benar. Dan kau, St. Raphael. Seriuslah sedikit, aku mengundang kalian untuk membicarakan masalah ini dengan bijak. Mencari pemecahan yang tepat, bukan untuk saling memancing keributan.” Seseorang dari balik gerbang besar itu berjalan menghampiri tempat dimana ketiga malaikat besar sedang duduk.
Serentak ketiga malaikat itu berdiri. Memberi hormat kepada tuan rumah, St. Gabriel. Dan St. Gabriel mengambil tempat duduk di tengah, di antara ketiga malaikat itu.
“Mari, silahkan duduk.” Ajak St. Gabriel.
Ketiga malaikat itu kini kembali duduk. Mereka diam, namun sikap mereka sekarang penuh dengan keseriusan dan kewaspadaan. Tekanan energi yang diluapkan oleh St. Gabriel memaksa mereka untuk diam, saling meredam emosi masing-masing. Dan tentu saja hal ini tidak berpengaruh sama sekali untuk St. Michael, berkat kedudukannya sebagai salah satu dari empat seraphim.
“Baiklah, rasanya tidak perlu lagi aku pancarkan aura menekan ini. Kalian sudah lebih tenang sekarang.”
Suasana di ruangan itu yang tadinya tegang, kini berangsur mereda. Para malaikat kini sudah bisa duduk dengan lebih santai. Sikap mereka yang tadinya kaku, kini terlihat lebih rileks.
“Kalian sudah tahu, alasan aku memanggil kalian ke ruangan ini. Kita sedang menghadapi masalah yang begitu berat. Earl, iblis itu sudah tidak bisa didiamkan lebih dari ini.” St. Gabriel memulai pembicaraan.
“Langsung saja, St. Gabriel. Aku sudah menyiapkan seratus ribu malaikat perang ku, terbagi dalam empat batalion utama dan seratus batalion kecil sebagai bukti keseriusanku untuk membasmi iblis tidak tahu diri itu !” St. Azazel memberi penawaran. Suaranya tegas, menggelegar memenuhi ruangan.
“Dan, jika sekarang Earl berada di bumi, apakah ke seratus ribu pasukanmu itu masih ingin memusnahkan Earl ? Apakah kau siap bertanggung jawab atas akibat perang yang mungkin kau timbulkan ? Seratus ribu pasukan, itu cukup untuk memporak-porandakan satu benua di bumi, Azazel.” St. Gabriel memberikan jawaban atas penawaran St. Azrael. Jawaban yang jelas berupa penolakan.

Azazel hanya bisa diam. Baginya, tidak masalah jika bumi harus porak-poranda sekarang. Yang penting adalah, masa depan bumi esok hari dan seterusnya. Bebas dari ancaman kejahatan Earl. Azazel yakin, manusia punya kemampuan dan pengetahuan yang tinggi untuk membangun kembali peradabannya. Daripada rusak pelan-pelan oleh Earl, bukankah lebih baik rusak sekalian lalu dibangun kembali dari awal? Namun jika dirinya tidak mengindahkan saran St. Gabriel, dan turun ke bumi membawa ke seratus ribu pasukannya, seraphim itu akan menahan nya di perjalanan. Memaksa balik semua pasukannya beserta dirinya, dan hal itu akan menimbulkan malu bagi Azrael di hadapan anak buahnya.
“Azazel, perlu kau ketahui. Earl, memang licik. Juga bengis. Namun iblis itu kuat berkat berbagai kontrak yang disepakatinya dengan para manusia. Ditambah dengan Dera, Living Weapon terkuatnya. Earl menjadi semakin sulit untuk dikalahkan. Mengalahkan Dera, akan melemahkan iblis itu dan memudahkan kita untuk menghajarnya habis-habisan.” Raphael menyambung ucapan Gabriel.
“Dan ada satu kontrak yang sampai sekarang mengikatnya, juga senjata utamanya, Dera. Kontrak dengan salah satu manusia.” Raphael menyibakkan rambut indahnya, sambil berbicara menanggapi penawaran Azrael.
“Siapa manusia itu ?” tanya St. Michael singkat.
“Melody Nurramdhani Laksani. Perjanjian nya dengan Earl semasa remaja membuatnya harus kehilangan ingatan nya dengan Dera sebagai syarat kontraknya. Dan Dera, Living Weapon itu adalah teman kecil dari gadis ini. Target utama kita bukanlah Earl, melainkan Dera. Dan jika bersangkutan dengan Dera, maka kita akan mendapati bahwa sumber semua hal ini adalah Melody. Mengeliminasi Melody, akan membatalkan kontraknya, serta mengembalikan Dera menuju alam kematian.” Jawab Raphael.
“Tapi itu berarti, kita harus mengorbankan satu jiwa hanya untuk membatalkan kontrak tersebut. Itu tidak benar, tidak akan ada jiwa yang harus dikorbankan !” St. Gabriel menentang usul yang diberikan oleh Raphael.
“St. Gabriel yang bijak. Bukan maksudku untuk tidak menghargai pendapatmu, namun kau sendiri sadar bahwa hanya ini cara yang paling memungkinkan untuk dijalani. Jauh di dalam lubuk hatimu, kau membenarkan perkataanku bukan ?” Raphael meyakinkan Gabriel untuk menyanggupi rencana ini.

St. Gabriel tertegun, pikirannya menerawang jauh. Dia memikirkan tentang segala kemungkinan yang akan terjadi andaikan rencana ini dijalankan. Ingin sekali hatinya untuk memungkiri rencana ini, dan berharap masih ada cara lain tanpa harus mengorbankan satu nyawa pun. Namun sejauh pikirannya menelusuri segala kemungkinan yang ada, tidak ada cara yang lebih baik dari cara ini.
“Baiklah… aku setuju.” St. Gabriel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan setelah menyanggupi usul tersebut. Dirinya malu, merasa gagal sebagai salah satu dari malaikat besar. Bagaimana dirinya bisa mendapat gelar sebagai seraphim, sedangkan untuk melindungi satu nyawa pun dia tidak kuasa melakukan nya.
“Bagaimana dengan yang lain ?” St. Michael bertanya kepada kedua malaikat lainnya.
“Aku, St. Raphael setuju atas rencana ini.” St. Raphael mengangkat sebelah tangannya tanda setuju.
Azazel masih diam. Baginya, tidak menarik jika membabat musuh langsung dari titik kelemahannya. Tidak ada proses menyenangkan selama hal itu berlangsung. Jabatannya sebagai panglima perang memang membiasakannya untuk menyelesaikan masalah lewat perang.
“Azazel ?” St. Michael bertanya langsung kepada malaikat itu.
“Aku setuju. Tapi ingat, jika cara ini gagal maka biarkan aku bertindak dengan rencana ku. Tanpa ada yang menghalangi.” Azazel mengangguk pelan tanda setuju.
“Telah diputuskan, aku, salah satu dari empat seraphim, St. Michael beserta keputusan dari dua seraphim lainnya, St. Gabriel dan St. Raphael mewakilkan St. Ariel yang berhalangan hadir, serta Azazel sebagai perwakilan para war angels, akan menjalankan rencana eliminasi Melody Nurramdhani Laksani, mengembalikan Dera the living weapon ke alam kematian, serta menghabisi Earl, the Thousand Years Old Phantom untuk selama-lamanya !” St. Michael berkata lantang. Suaranya menggelegar, terdengar sampai ke seluruh ruangan.
“Maka biarkan aku, St. Michael sendiri yang bertindak sebagai eksekutor nya. Akan kuberikan kematian yang indah untuk gadis itu.” St. Michael beranjak dari duduknya, lalu berdiri tegak. Dirinya lalu membungkuk rendah kepada St. Gabriel tanda hormat, lalu membalikkan badan. Keluar dari ruang rapat.
“St. Gabriel, aku harap kau bisa menerima ini. Ijinkan aku, Azazel, menutup rapat ini.” Azazel bangkit, disusul dengan Raphael.
Kedua malaikat itu menyusul St. Michael melangkah keluar dari ruang rapat. Meninggalkan St. Gabriel yang masih tertunduk malu sambil tangannya tetap menutupi wajahnya, sendirian dalam ruang besar. Cahaya perlahan meredup, bersama dengan gerbang yang pelan-pelan menutup diri. Mengunci St. Gabriel di dalamnya.

######################
St. Michael mendaratkan tubuhnya dengan kencang, menghempaskan debu-debu di sekitarnya. Atap gedung tua tempatnya berpijak menjadi penopang tubuhnya. Arch Angel itu memejamkan mata, berusaha merasakan hawa jahat milik Earl. Ada kumpulan hawa jahat yang kini bergerak perlahan mengikuti sebuah hawa milik seorang manusia. Lalu St. Michael mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda untuk Eziel. Dan Eziel yang baru saja ingin mendarat, terpaksa mengepakkan sayapnya lagi serta terbang mengikuti arah tangan St. Michael menunjuk.
“Hawa ini hanya milik Earl. Masalahnya adalah, kemana Dera ?”
St. Michael melihat sekeliling. Tidak ada yang mencurigakan dari pemandangan di sekitarnya. Hanya ada taksi yang terparkir begitu saja di sebuah tepi kebun kecil disamping gedung yang sekarang dipijakinya. Tidak ada yang mencurigakan, pikir St. Michael. Dan saat malaikat itu ingin mengepakkan sayapnya kembali, dirinya mendapati sisa-sisa hawa jahat tepat di sekitar taksi itu. St. Michael melompat turun, menghampiri taksi itu. Tidak ada yang aneh. Dirinya lalu berjalan ke belakang, dan mendapati bagasi mobil yang dibiarkan terbuka. St. Michael melongok ke dalam bagasi, dan betapa terkejutnya dirinya saat mendapati tubuh tanpa kepala dengan posisi meringkuk berada di dalam bagasi mobil itu. Darah segar masih menetes keluar dari urat lehernya. Namun kulit itu telah berubah pucat.
“Ini pasti ulah Earl, berarti dia masih ada di sekitar sini !” St. Michael berseru panik.
Malaikat itu segera membalikkan badannya, melompat dan bersiap untuk terbang. Namun kakinya dicengkeram oleh sepotong tangan, menariknya turun menghempas bumi. St. Michael mengepakkan sayap emasnya, menimbulkan angin kuat yang menghempaskan taksi itu beberapa meter menjauh darinya. St. Michael membalikkan badan, melihat ke arah taksi itu. Tangan itu berasal dari dalam bagasi, tepatnya milik mayat yang tadi dilihat St. Michael. Dan tangan itu kini menyentuh bumi, menopang tubuhnya yang berusaha merangkak keluar dari bagasi.
“Irragionevole, Earl !!” St. Michael berteriak marah, terasa luapan energi yang besar menekan sekitarnya.
Mayat tanpa kepala itu kini telah berdiri tegak. Tubuhnya bergetar, dari kulitnya timbul gelembung-gelembung yang makin lama makin membesar. Tubuh itu membengkak, seperti ingin meledak. St. Michael sadar akan hal ini, jelas ini adalah jebakan Earl. St. Michael membentangkan sayapnya, bersiap untuk terbang. Namun terlambat, tubuh mayat itu sudah sampai batasnya. Tubuh itu meledak dengan hebatnya, menghancurkan taksi serta hal lain di sekitarnya. Dan ledakan besar pun tak dapat terhindarkan. Meruntuhkan tembok-tembok, menggetarkan area di sekitar ledakan tersebut. Bunyi berdebumnya yang keras, sampai juga di telinga supir tambun yang sedang berjalan santai menelusuri jalan kecil, menenteng seonggok kepala.
“Aw, ada yang masuk ke jebakan. Hmm, ledakan nya cukup keras juga. Sukses deh, khik khik khik.. khik… !!”
Pria tambun itu tertawa terbahak-bahak dengan lepasnya. Memecah suasana hening di sekitarnya.

##############################
Translate (italia)
Irragionevole = Keterlaluan

Melody mengakhiri pelarian nya di sebuah gang sempit dan gelap. Tangan nya bertumpu pada lututnya, sedang napasnya tersengal-sengal dan berat. Melody menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dalam satu tiupan kuat. Gadis cantik kelahiran Bandung itu melihat ke sekelilingnya. Rasanya, pemandangan dan lingkungan ini begitu asing baginya.
“Ini dimana lagi sih ? Dimana sih jalan keluar dari tempat ini ?!” tanya Melody, panik.
Melody melihat ke belakang, berharap bahwa pria tambun itu tidak mengikutinya. Namun apa yang diharapkan nya salah, dari kejauhan Melody bisa menangkap sosok pria tambun yang sampai tadi sore masih menjadi supir taksi yang di tumpanginya. Dan pria itu berjalan dengan santainya, tepat menuju tempat Melody berada. Siulan serta nyanyian nya menjadi ciri khas tersendiri, mengalun ngeri di telinga Melody.
“Dia lagi, duh… Aku harus kemana lagi. Kemana ?!” Melody bertambah panik.
Dirinya mendapati bahwa di ujung gang ini terdapat dua jalan yang saling bersimpangan. Dan gadis itu bingung saat harus memilih jalan yang akan dilewati. Namun waktu yang semakin sedikit membuatnya tidak bisa berpikir terlalu lama. Melody kembali berlari, mengambil jalan ke kanan tepat setelah dirinya berada di antara persimpangan di ujun gang. Melody terus berlari, disertai rasa panik luar biasa. Keringat terus menerus keluar, merembes dari jaringan bawah kulitnya, membasahi seluruh badannya. Kaus nya yang tipis menjadi basah akibat keringat yang terus keluar, sehingga bra pink nya tercetak dengan jelas. Dalam pelariannya, Melody masih merasa heran. Dari tadi, dirinya mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumah mereka. Atau orang-orang seharusnya sedang bermain di luar, mengingat ini adalah sore hari. Namun keadaan masih sepi, sunyi. Pelariannya kembali terhenti di sebuah lingkungan kebun kosong dengan salah satu gedung bertembok abu-abu di sisinya. Di akhir gang itu terdapat sebuah lapangan yang cukup luas. Melody mengambil napas sejenak, kemudian merogoh tasnya. Mengambil sebotol minuman. Diteguknya dengan tergesa-gesa, sampai air dalam botol itu habis tak bersisa. Melody membuang botol itu asal, lalu bersandar pada tembok di belakangnya. Lalu Melody merogoh tasnya, sampai pada bagian yang paling dalam. Dirinya mencari smartphone nya, mencoba untuk memberi kabar dan meminta bantuan. Namun sayang, benda yang dimaksud tidak juga ditemukan.
“Haaah… mau berlari sampai seberapa jauh lagi, klien-ku tersayang ?”
Sebuah suara yang entah darimana datangnya terngiang-ngiang di telinga Melody. Gadis itu panik, tubuhnya makin menepi pada tembok. Matanya sibuk mencari-cari sumber suara tersebut. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan dengan panik. Sementara keringat dingin makin banyak menetes turun melewati wajah cantiknya.

Tiba-tiba pemandangan di hadapannya memudar, disusul dengan retakan-retakan di antara ruang kosong. Retakan itu makin melebar, yang kemudian menjadi lubang hitam yang membuka lebar dan terus melebar. Dari ruang kosong itu kini muncul lubang hitam, dan sesosok tubuh mencoba keluar dari dalamnya. Kedua tangannya memegang tepi lubang itu, membuatnya menjadi tumpuan untuk mengangkat badannya yang berat. Melody bergidik ngeri melihat pemandangan langsung yang berada di depannya. Dan dirinya tidak bisa lebih takut lagi, saat sosok itu menampakkan wajahnya. Ya, pria tambun yang menyetir taksi yang tadi ditumpanginya itu kini sedang mencoba keluar dari dalam lubang hitam tempatnya berada. Raut wajahnya bengis, seringai licik terlukis di wajanya.
“Hah, teleport ini menyusahkan. Lebih baik pakai yang biasanya.”
Sekarang pria tambun itu sudah keluar sepenuhnya, menginjakkan kedua kakinya di permukaan tanah. Pakaiannya berganti, dari yang tadinya seragam biru supir kini berubah menjadi jas hitam yang agak sempit di tubuhnya. Celana bahan hitam dengan garis putih menjadi pelengkap setelannya. Disertai dengan sepatu boots hitam dengan alas yang tinggi, untuk membuat tubuhnya yang pendek terlihat tinggi.
“Desvanecerse !” Pria itu mengucapkan suatu kata, dan setelahnya lubang hitam yang tadi muncul mendadak sirna. Menghilang tak berbekas.
“Selamat sore, nona Melody. Maaf mengejutkan anda dengan semua pertunjukkan dan akting tadi. Anda pasti ketakutan, bukan?” Pria itu mengangkat topi hitam tinggi yang dikenakannya, memberi salam kepada Melody.
“Ah ya, ini ada oleh-oleh untuk anda.” Pria tambun itu melemparkan sesuatu kepada Melody.
Melody refleks menangkap benda yang dilemparkan oleh pria itu, namun setelah ditangkap Melody malah berteriak ketakutan.
“UWAAAAAAHH !!!” Teriaknya.
Melody segera melempar benda itu ke tanah. Tubuhnya menggigil ketakutan, mengetahui benda apa itu sebenarnya. Benda yang dilempar pria itu untuk Melody ternyata adalah potongan kepala. Ya, potongan kepala yang tadi di tenteng bagai tas oleh pria yang sama. Darah segar masih membekas di urat leher kepala itu, dan kini kedua tangan Melody berlumur darah karenanya. Ingin rasanya Melody menangis, karena berada di situasi seperti ini. Namun dirinya terlalu bingung, bahkan untuk menangis sekalipun.
“Sekedar info. Itu supir taksi yang asli. Khik khik khik.” Tawanya begitu misterius dan aneh, menyadarkan Melody akan sesuatu.
Melody merasa mengenal pria itu. Ya, pria tambun yang berpura-pura menjadi supir taksi itu tidak asing baginya. Rasanya… rasanya Melody pernah bertemu pria ini, enta dimana. Memikirkan hal itu, membuat kepalanya kembali merasakan sakit yang hebat. Melody kembali memegangi kepalanya, ingin rasanya gadis itu berteriak saking tidak kuatnya menahan sakit yang dirasakan. Namun tidak ada suara yang keluar. Suaranya seperti hilang entah kemana.

“Bagaimana rasanya menghadapi trauma, gadis manis? enam tahun… selama itu aku tidak bertemu denganmu lagi. Ya, harusnya masih ada empat puluh tujuh tahun lagi sampai aku menjemput sendiri jiwamu untuk kubawa pergi ke alam kematian. Haaah, ya… Harusnya seperti itu. Tapi belakangan ini, malaikat-malaikat itu mulai berulah.” Pria tambun itu menghela napas.
“Mereka sepertinya mencium ulahku bersama dengan Dera yang sedang bersenang-senang terhadap dunia ini. Padahal baru enam tahun aku mempekerjakannya. Secepat itu, haaah…” Pria itu terus menerus mengeluh.
Pria itu mendelik ke arah Melody. Bola matanya yang berwarna merah darah tajam mengintimidasi gadis itu. Dijentikkan jarinya, dan serentak tubuh Melody menjadi kaku. Kedua tangannya tanpa diperintah terangkat sendiri ke atas, lalu kedua tangan itu saling bertemu, seperti di ikat. Melody kebingungan sekaligus takut dengan apa yang terjadi, namun tak mampu bersuara ataupun meronta. Dirinya hanya bisa menatap pria itu tanpa bisa mengalihkan pandangannya, saat pria itu mendekatinya.
“Jadi, jika dulu dimulai dengan bagian atas, kini rasanya menarik jika langsung ke sajian utamanya.” Pria tambun itu mengetuk-ngetuk taringnya dengan telunjuk. Kemudian pria itu menggeram, lalu mengibaskan sebelah tangannya. Menimbulkan tekanan tenaga yang begitu besar, dan tiba-tiba seluruh pakaian Melody seperti tersobek-sobek dengan potongan yang begitu rapi. Potongan-potongan pakaian itu jatuh perlahan ke tanah, meninggalkan Melody dengan hanya pakaian dalamnya. Melody makin merasakan takut yang amat sangat, mencoba untuk meronta namun tetap tidak bisa bergerak.
“Melody Nurramdhani Laksani, biarkan aku, Earl of the Thousand Years Old Phantom menyelesaikan apa yang seharusnya kuselesaikan dari dulu.” Pria itu menyebutkan jati dirinya. Bersama dengan itu, sakit kepala yang dari tadi menderanya makin memuncak. Kepala Melody bagaikan sedang dihajar palu yang begitu besar dan berat. Menghajar kepalanya dengan kencang.
“Biar saja otak itu terus merasa sakit. Peduli setan, yang penting pihak pertama dan pihak kedua ada padaku. Khuahahahahaaa !!!” Earl tertawa keras.
“Nah, nah. Sebelum itu… ijinkan aku sedikit bermain-main dengan tubuhmu. Kita langsung saja, lagipula… kau yang menawarkan lebih dulu.” Earl tersenyum licik melihat lekuk tubuh Melody yang hanya tinggal memakai pakaian dalam itu.
Earl menjulurkan lidahnya, sangat panjang sampai bisa menyentuh pangkal paha Melody. Sementara gadis cantik itu sedang sibuk dengan rasa sakit di otaknya, lidah milik Earl menari-nari membasahi bagian paha Melody. Kadang lidah itu bermain nakal di seputar vagina Melody, meskipun masih tertutup celana dalam. Earl mengambil keuntungan dari keadaan Melody saat ini, dan dengan bebas tanpa rasa bersalah mulai menyelipkan lidah itu masuk ke dalam cd Melody. Gadis itu terperangah kaget, saat ada benda asing yang permukaannya kasar sedang berusaha masuk ke dalam bagian paling intimnya. Namun Melody tetap tidak bisa bergerak, sementara rasa sakit di otaknya makin menjadi. Lidah Earl bermain indah saat berhasil masuk ke dalam cd Melody, yang langsung menghajar celah bibir vagina gadis itu habis-habisan. Dijilatinya bibir vagina Melody ke kiri dan kanan, kadang sampai hampir menyentuh lubang analnya. Jilatan liar itu makin menjadi saat Melody, secara refleks mulai menunjukkan ekspresi wajah yang sedang menahan sakit dan nikmat secara bersamaan. Earl tidak bisa lebih bahagia lagi ketika pria itu menjentikkan jarinya untuk membuat Melody dapat mengeluarkan suaranya lagi, yang terdengar hanyalah desahan-desahan kecil.

“Mmhhh, aaahhh…. jangan, jangan di clit a-aakkuuu….!” Desah Melody berusaha memohon.
Earl menjentikkan jari sekali lagi, dan tiba-tiba muncul papan tulis putih kecil di tangan kanan nya. Dan papan tulis itu otomatis memunculkan huruf yang dapat dibaca oleh Melody.
“Hooo, jadi selain bagian klitoris boleh aku jilat? Baik sekali kau, nona “
Melody menggelengkan kepalanya, namun sedetik kemudian kepalanya tertengadah ke atas karena merasakan lidah Earl mulai memaksa masuk melewati celah bibir vaginanya. Rasa nikmat dan sakit dari kepalanya bercampur aduk menjadi satu, membuat gadis itu kehilangan kendali diri.
“Auuhh.. hah, hah.. aaahh… mmhhh, ini… ini gilaaaa.. !!” Desah Melody, yang kini terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.
Lidah itu dibiarkan menari-nari liar di pangkal liang vagina Melody yang masih merah merekah itu. Liangnya yang sempit membuat lidah itu membutuhkan tenaga ekstra untuk menggerak-gerakkan daging kenyal itu. Dan akibat gerakan-gerakan liar dari lidah milik Earl, rangsangan di seputar vagina Melody makin menjadi, menambah nikmat disela sakit yang sedang menderanya.
“Bagaimana? Boleh kita maju ke tahap yang lebih… dalam? “
“Aaaahhh… oohh oohh… tolong, ini gilaaaa !! Tolongg, aku gak kuat nahan rasa sakitnyaaaahhh…!! Tapi, tapi… ah, ah aaahhh uuhh mmhhh…. “ Desahan Melody berubah makin binal dan liar, tanda sudah terangsang hebat.
Lidah itu lalu melanjutkan perjalanannya melesak makin ke dalam, namun membentur sebuah dinding halus yang menghalangi jalannya menuju bagian yang lebih dalam. Earl merasa sangat kesal, ternyata Melody masih perawan. Gadis itu begitu bodoh, bisa berlaku sebinal ini namun tetap tidak melepas keperawanannya, begitu pikir Earl. Dan Earl punya ide brilian untuk lebih mengerjai gadis itu. Dirinya akan membuat gadis cantik bernama Melody Nurramdhani Laksani untuk menjadi budak seksnya dengan cara meminum ramuan terbarunya. Ramuan yang tidak bisa dibandingkan dengan obat perangsang manapun. Dan saat Earl sedang merogoh isi di dalam topi bundar hitam tingginya, untuk mencari ramuan yang dimaksud, dari kejauhan di langit sore terlihat sesuatu yang terbang mendekat ke arah mereka dengan kecepatan sangat tinggi. Sesuatu itu turun makin cepat, menukik seakan sebuah roket. Dan saat Earl menyadari bahwa ada sesuatu yang datang ke arahnya, pria tambun itu terlambat untuk melarikan diri. Jepitan di vagina Melody terhadap lidah Earl membuatnya tidak bisa menghindar dengan bebas. Earl juga terlambat untuk memasang sihir perlindungan, karena tidak bisa mengucapkan mantera. Saat sesuatu itu makin mendekat, terlihatlah wujudnya yang sebenarnya. Ternyata sosok yang mendekat bagai roket itu adalah malaikat dengan sayap cokelat yang sengaja terbang menerjang ke arah Earl. Malaikat itu menabrak Earl dengan kecepatan tinggi, melontarkan iblis itu jauh-jauh sampai membentur tembok. Earl jatuh ke tanah dengan bunyi berdebum yang keras, berteriak-teriak kesakitan karena lidanya putus, setengahnya masih berada pada Melody dengan ujung lidahnya masih tersangkut tak bisa dilepas gadis itu. Rasa sakit yang di alami Melody di bagian kepalanya pun berangsur menghilang, yang membuat kesadarannya mulai pulih. Malaikat itu mendarat dengan kasarnya di atas tanah. Sayap cokelatnya dilipat agar tidak mengganggu pertarungan. Kali ini, malaikat itu sudah menyiapkan hatinya untuk bertarung dengan Earl.

“Ka-kamu, kamu siapa?! Kenapa punya sayap? K-ka-kamu sebenernya ap-apa?” tanya Melody kepada penolongnya.
“Huh, oh… aku Eziel. Aku ditugaskan untuk melenyapkan Earl, iblis yang sedang menggelepar-gelepar itu untuk selama-lamanya. Dan, aku malaikat. Salam kenal, cantik.” Malaikat itu memperkenalkan diri.
Melody memperhatikan dengan seksama. Rambutnya yang lurus pendek dan berponi terlihat cocok dengan anting putih yang tertindik di telinga kanannya. Malaikat itu memakai baju zirah yang ringan, terlihat dari caranya bergerak. Pandangan matanya tajam menatap Earl, meskipun sepertinya dia tahu makhluk seperti apa Earl itu. Malaikat bernama Eziel itu melihat ke arah lidah yang masih masuk ke dalam cd Melody, yang bagian sisanya tergantung bagai tentakel gurita. Eziel memandang Melody dengan pandangan yang sangat aneh. Melody yang sadar bahwa ada sesuatu yang masih menyangkut di kemaluannya, segera meraih lidah itu, mencabutnya agar segera terlepas dari liang surgawinya. Muka Melody memerah, melihat seorang malaikat dengan begitu polosnya memperhatikan apa yang sedang dilakukan Melody.
“Mari, aku bantu.” Eziel menawarkan diri.
“Eh, tunggu.. tunggu! Jang-“ Terlambat. Eziel sudah memegang ujung lidah itu, lalu menariknya sekuat tenaga agar keluar dari tempat yang tidak seharusnya benda itu berada.
Melody merasakan kegelian yang intens saat lidah itu perlahan meninggalkan pangkal lubang vaginanya, apalagi saat sedikit demi sedikit bagian lidah itu keluar. Rasanya seperti menggesek dinding vaginanya. Dan desahan Melody pun keluar sekali lagi.
“Auh, uuhh… Ge-geli.. aaahhh…”
Eziel akhirnya berhasil menarik keluar potongan lidah milik Earl, yang langsung dilempar ke arah iblis itu. Earl yang menyaksikan sendiri dirinya dipermalukan oleh malaikat biasa, menjadi murka bukan kepalang. Earl menjulurkan lidahnya, lalu mengambil potongan yang telah putus. Dan hanya dengan menyambungkan kedua ujungnya, lidah itupun tersambung kembali. Earl maju dengan kecepatan luar biasa, sampai berada di sisi kanan Eziel sambil mengucap sebuah mantera.
“Kena kau, bocah! Fire ball !!” teriak Earl.
Sebuah bola api muncul dari telapak tangannya, yang langsung dilemparkan Earl menuju Eziel yang hanya berjarak beberapa meter darinya. Eziel terlambat untuk menghindar, bola itu menyambar lengannya dan langsung membakar bagian itu tanpa ampun. Eziel mengepakkan sayapnya, membuat angin untuk mematikan api tersebut. Namun sayang, api itu malah makin membesar sehingga luka bakar di lengan Eziel semakin melebar. Saat Eziel masih sibuk memikirkan bagaimana caranya mematikan api itu, Earl sudah siap dengan serangan berikutnya.

“Serangan susulan, malaikat sombong! Flamethrower !!”
Earl mendorong tangannya, mengarahkan tepat ke Eziel. Dari tangannya, keluar api yang terus menerus menyambar ke arah Eziel tanpa henti, susul menyusul seperti sebuah senjata penyembur api. Eziel terpaksa melindungi diri dengan sayapnya, juga untuk melindungi Melody di belakangnya. Eziel merasa panas pada sayapnya, terlebih api di lengannya yang belum mau padam. Di saat seperti ini, otak Eziel dituntut untuk berpikir keras. Strategi bertarung biasa jelas tidak akan bisa mengalahkan iblis itu. Eziel melihat ke langit, sepertinya dia mendapatkan ide. Eziel lalu mengepakkan sayapnya, membuat satu momentum terbang bagaikan roket. Eziel terus terbang menuju langit, yang memang sedang mendung sore itu. Eziel tersenyum melihat petir yang saling sahut menyahut, seakan dia yakin rencananya akan berhasil. Earl yang melihat Eziel melarikan diri menuju angkasa, merasa geram karena dipermainkan malaikat itu. Earl menjentikkan jarinya, membuat retakan-retakan menjadi sebuah lubang hitam. Lalu Earl melompat ke dalamnya, dan lubang hitam itu menghilang. Eziel terus terbang, menembus awan hitam. Ditangkapnya salah satu petir yang sedang melintas, sekuat tenaga ditahan oleh malaikat itu agar tidak lewat begitu saja. Walaupun itu harus membakar telapak tangannya, Eziel tidak peduli. Malaikat itu terus mengepakkan sayapnya, mencoba menahan petir yang mendorongnya karena Eziel telah menahan petir itu melintasi jalurnya. Eziel menunggu satu momen yang tepat, dan saat momen itu tiba Eziel segera melepas pegangannya pada petir itu. Dan petir itu pun menyambar dada Eziel tanpa bisa ditahan lagi. Menghancurkan baju zirahnya, juga semua pakaian di baliknya. Namun petir itu tidak bisa melukai Eziel, malah sebuah lingkaran sihir tercipta di tempat dimana petir itu menyambar. Eziel sukses menjalankan rencananya.
“Yap, sudah terisi ulang. Segini mungkin cukup.” Ujar Eziel.
Tepat di atas Eziel muncul retakan yang berujung pada terbentuknya lubang hitam. Eziel segera membalikkan badannya, merasakan hawa jahat yang tiba-tiba muncul dibelakangnya. Namun kecepatan gerak Earl sedikit lebih baik. Iblis berperawakan tambun itu segera meluncurkan tendangan lurus ke arah Eziel, melemparkannya jauh menghantam permukaan. Bunyi berdebum yang sangat keras menjadi tanda benturan antara tubuh Eziel dengan tanah. Malaikat itu di hajar habis-habisan oleh Earl.
“Urgh, uaahk !!” Eziel memuntahkan segumpal darah.
Pandangan matanya tajam terfokus ke Earl yang sekarang sedang terjun bebas menuju ke arahnya dengan sebuah palu besar yang siap terayun menghajar Eziel.

“Cih, memang kalau sudah beda level itu ketahuan ya bedanya.” Eziel menyeka bibirnya yang masih terdapat sisa-sisa darah. Tubuhnya kini diselimuti cahaya keemasan yang begitu terang. Begitupun dengan lingkaran sihir yang ada di dadanya, mulai mengeluarkan pijar-pijar kilat. Eziel berkonsentrasi penuh, tak mengindahkan Earl yang sedang menuju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
“Oh, Lord of Thunder and Skies. I summon one of your thunder, the one that will bring the destruction to your foe. Oh, the Lord.. i shall give you my pair of wings as a tribute! Then, allow me to-“
Eziel tidak sempat menyelesaikan mantera nya, saat seberkas petir dahsyat menyambar Earl yang sedang menuju ke arah Eziel. Petir itu menyambar begitu keras, menghajarnya sampai terpental lalu menabrak sebuah tembok. Dan tembok itu pun hancur akibat tabrakan yang sangat hebat, membuat tubuh Earl menghempas tanah dengan sangat keras. Iblis itu berguling-guling kesakitan, sekujur tubuhnya berasap dan gosong.
“Lanza del Relámpago”
St. Michael mengepakkan sayap emasnya di udara agar tetap terbang, sambil menyiapkan sebuah petir yang menjelma menjadi tombak. St. Michael menarik tombak petir itu ke belakang, membuat pose seperti orang yang ingin melempar tombak. St. Michael melepaskan tombak itu, melemparnya tepat terarah ke Earl. Kembali petir susulan terlempar mengarah ke iblis seribu tahun itu, yang tak mungkin dapat dihindarinya. Petir kedua telak menghantamnya, menimbulkan ledakan dahsyat yang bahkan menghancurkan area sekitarnya. Belum lagi efek petir yang menyambar-nyambar sekitar, membuat kerusakan yang ada menjadi bertambah parah. St. Michael tersenyum puas melihat hal itu.
“Masih terlalu cepat untuk menggunakan itu, Eziel. Kau masih muda. Memangnya mau kehilangan sayap begitu saja, ditukar dengan senjata yang hanya bisa kau pinjam… tidak bisa kau miliki? Aku tidak akan melakukannya jika jadi kau. Tidak bisa terbang itu merupakan hal hina bagi para malaikat, Eziel.” Saran St. Michael.
Eziel mengangguk, mendengarkan kata-kata St. Michael dengan penuh kepatuhan. Baginya, tiap perkataan dari seraphim itu adalah titah yang harus dijalani. Dirinya begitu mengagumi sosok arch angel satu itu, bahkan mungkin andaikan di dunia malaikat terdapat sistem klub penggemar layaknya di dunia manusia, bisa dipastikan Eziel akan menjadi memberi nomer satunya.
“St. Michael, apa… Earl telah dikalahkan?” tanya Eziel ragu-ragu.
“Belum, iblis itu belum kalah. Bersiaplah Eziel, pertarungan sebenarnya baru akan dimulai.” Jawab St. Michael. Matanya menatap tajam ke arah kabut ledakan yang belum juga mereda. Tiba-tiba, sesosok tubuh menerjang ke arah St. Michael dari arah kiri. Tubuh itu melompat, sambil menyarangkan tinjunya menuju sang arch angel. St. Michael melompat ke belakang, sambil menyiapkan satu bola petir yang terkumpul di telapak tangannya. Dan pada saat tinju sosok itu meleset tidak mengenai sasaran, St. Michael langsung menembakkan bola petirnya. Dan telak mengenai sosok itu. Namun belum habis bola petir itu menyambar, sosok itu langsung merubah dirinya menjadi bayangan hitam sehingga dapat menghindari bola petir milik St. Michael. Sosok itu kembali memadatkan dirinya menjadi bentuk utuh tubuh manusia, menerjang ke arah St. Michael dengan satu tendangan dari samping. Malaikat besar itu mengepakkan sayap emasnya, dan melompat sehingga lompatannya tinggi jauh di atas sosok itu. Sang sosok hitam yang kehilangan keseimbangan akibat tendangan yang meleset dan juga angin dari kepakan sayap St. Michael, menahan tubuhnya dengan membuat tangannya menjadi tumpuan badannya, lalu bersalto dan mendaratkan kakinya dengan sukses, sekaligus memperbaiki keseimbangan.

Namun St. Michael sudah menunggu ini, bola petir yang jauh lebih kuat dari semula telah disiapkannya untuk menghajar sosok itu. Dan saat St. Michael melemparnya, bola itu tiga kali lipat lebih cepat dari bola yang sebelumnya. Sosok yang baru saja memperbaiki keseimbangannya itu, tidak sempat menghindar dari serangan petir milik St. Michael.
“Jupiter’s Thunder !” St. Michael melepaskan bola berikutnya, dengan kecepatan dan kekuatan yang sama. Bola itu beradu dengan bola sebelumnya, menimbulkan petir beruntun yang menyerang targetnya tanpa ampun. Satu lagi musuh tumbang oleh St. Michael.
“Ternyata Dera yang selama ini dibicarakan tidak sehebat rumornya. Cih, membuang waktu.” Pandangan St. Michael merendahkan sosok yang sedang kejang tersengat listrik itu.
“Hell Fire !!”
Tiba-tiba dari sekujur tubuh sosok itu mengeluarkan api hitam yang begitu panas, sanggup memusnahkan pijar-pijar listrik yang menyengatnya. Api hitam itu menjalar ke segala arah, membakar apapun yang dihadapinya. Api itu makin membesar, mengancam St. Michael yang masih melayang di udara. Ada pun Eziel, kini beringsut menjauh dari medan pertarungan dan menghampiri gadis yang baru di kenalnya. St. Michael yang melihat Eziel, segera mengikutinya. Begitupun dengan sosok hitam itu. Di sisi lain, Melody sedang menangis tersedu-sedu. Pelecehan terhadap dirinya oleh iblis bernama Earl benar-benar melukai sampai ke harga dirinya. Melody tidak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan Earl, mengambil kesempatan dalam situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Melody tidak perduli segawat apapun situasinya, yang jelas saat ini dirinya merasa sangat kotor. Begitu jijik dan ternoda. Suara derap langkah membuyarkan konsentrasi Melody. Dia menangkap dari mana arah suara itu, lalu mencari sekeliling berharap menemukan sesuatu yang bisa dipakai sebagai senjata. Akhirnya perhatiannya tertuju pada balok kayu yang tergeletak begitu saja di tanah. Melody mengambil benda itu, memegangnya erat-erat. Gadis itu mempersapkan diri, sambil memasang telinga baik-baik dari mana arah datangnya suara derap langkah tersebut. Suara itu makin dekat, makin dekat dan sangat dekat… Melody merapat di tembok, bersiap menghajarnya. Siapapun itu. Sesosok laki-laki muncul dari balik tembok, berlari lurus. Melody refleks mengayunkan balok kayu tersebut, menghajar telak muka sosok itu. Namun yang terjadi adalah, balok kayu itu hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Tidak ada satu inchi pun dari pukulan Melody yang membuat sosok itu mundur ke belakang, atau bahkan berteriak kesakitan. Sosok itu berhenti tepat di depan Melody. Membuka tudung sweater hitamnya, menampakkan wajahnya di hadapan Melody. Rambutnya yang bergerak-gerak tertiup angin, serta tatapan dinginnya mengingatkan Melody pada seseorang. Wajahnya tampak tak asing.
“Kayak… kenal… kamu, kamu… sia-“ Melody tidak meneruskan kata-katanya.
Rasa sakit di otaknya kembali hadir, menusuk-nusuknya dengan begitu hebat. Kali ini jauh lebih parah daripada yang selama ini dia rasakan. Rasa itu terus mengumpul di otaknya, terus menyiksanya tanpa henti. Melody berteriak, suaranya parau. Tubuhnya linglung seakan mau roboh. Menghadapi rasa sakit yang semakin menjadi. Dan saat rasa itu mencapai puncaknya, sesuatu dalam diri Melody seperti mau menyeruak keluar. Melody teringat akan sesuatu. Sosok itu… namanya, ya! Namanya… Dera. Dan segala sesuatu nya menjadi lebih jelas, bagai tabir yang terbuka lebar. Rasa sakit itu sirna, hilang bagai tertiup angin. Bersama dengan ingatan Melody yang perlahan kembali. Ingatan tentang Dera beserta semua kenangannya.

“Kamu… kamu Dera kan? Kamu beneran Dera kan?! Dera, Dera yang itu kan !!”
Sosok itu hanya bisa memandang Melody dengan pandangan teduhnya. Tidak lebih. Sosok itu berjalan pelan mendekati gadis cantik itu, nyaris tanpa suara. Dalam keheningan suasana di antara mereka berdua, dan kekacauan di sekitarnya, menimbulkan ironi yang begitu dramatis. Sosok itu memegang pipi Melody dengan tangannya, merasakan lembut pipinya. Wajahnya kian mendekat, dan matanya terpejam. Melody pun ikut memejamkan mata. Bibir Melody terbuka, siap menerima bibir orang di hadapannya dengan pasrah. Bibir keduanya bertemu dalam satu momen lembut. Dikecupnya pelan bibir Melody, memagutnya bagaikan sebuah es krim yang begitu berharga untuk dinikmati. Melody diam, air mata menetes dari pelupuk matanya. Ciuman itu begitu dingin, namun hangat. Ada rasa yang sulit dijelaskan kata, untuk melukiskan perasaan mereka berdua.
BRUAAAK !!! Seorang malaikat dengan sayap cokelat jatuh tersungkur di dekat kedua orang yang sedang asik berciuman, membuyarkan momen intens antara mereka berdua. Sayap malaikat itu terluka sangat parah, besi dan benda tajam lain menancap di salah satu sayapnya. Malaikat itu sudah babak belur, namun tetap bersikeras untuk bertarung.
“Aw, sial! Aku dihajar habis-habisan! Earl ternyata memang kuat, meskipun penampilannya lebih mirip badut daripada iblis berumur seribu tahun.” Kata Eziel disela rintihannya.
“Eh, kamu… itu sayap kamu kenapa ?!” Melody bertanya. Kepanikan melanda dirinya.
“Ah, enggak apa-apa. Oh iya, maaf jika mengagetkan kali-.” Kata Eziel, yang tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat seseorang yang berdiri di samping Melody.
“Eh, awas! Disampingmu itu musuh!” Sambung Eziel. Malaikat itu berusaha meraih Melody, namun satu tendangan kuat ke dadanya menghempaskan malaikat muda itu ke tembok. Lagi-lagi Eziel muntah darah.
“Hah, malaikat muda. Melody itu punya gue, dan gue akan ngejaga dia sekuat tenaga. Satu-satunya musuh disini itu elo, dan atasan busuk lo itu. Dia berniat ngebunuh gadis ini, cuma supaya gue balik lagi ke alam sana. Dengan ngebunuh gadis ini, maka kontrak yang dijalaninya dengan Earl akan batal. Dan itu ngebuat keberadaan gue disini udah gak ada artinya lagi. Kalo ada pertanyaan kenapa malaikat harus ngebunuh manusia, coba tanya aja kepada St. Michael yang terhormat itu.” Kata sosok itu. Tiap ucapannya terdengar dingin.
Eziel kaget setengah mati mendengar penuturan dari sosok itu, yang tidak lain adalah Dera the living weapon. Dirinya memang tidak pernah diberitahu apa tujuan misi ini sebenarnya, secara rinci. Dia hanya mengetahui garis besarnya, bahwa misi ini berhubungan dengan pengeksekusian Earl. Namun Eziel tidak pernah menduga bahwa caranya akan menjadi sekotor ini.

Malaikat harusnya dapat melihat cara yang lebih baik, tanpa menyakiti manusia. Namun hal ini dicoreng, bahkan oleh pemimpin seraphim dan arch angel tertinggi, St. Michael sendiri. Dan tepat di belakangnya, sang seraphim sedang melayang sambil menggenggam tombak yang menjadi senjata utamanya. Spear of Destiny, yang menjadi senjata pemberian Tuhan. Senjata berbentuk tombak itu begitu berkilau, cahaya putih keemasan terpancar dari tiap lekuknya. Dan tombak itu sedang terhunus tepat ke arah Melody. Merasa terancam, Melody spontan bersembunyi dibalik tubuh Dera. Dan Dera, dengan tatapan yang tajam mengeluarkan aura hitamnya. Mengeluarkan intimidasinya terhadap St. Michael.
“Benar seperti itu? Wahai yang mulia seraphim?” tanya Eziel.
St. Michael hanya mengangguk pelan. Matanya tajam, bersinar bagai kilat yang siap menyambar targetnya.
“St. Michael, aku mengerti tentang menghabisi Earl dan membawa kedamaian di bumi. Tapi, tapi… seharusnya tidak ada nyawa yang dikorbankan!” Eziel memprotes keputusan St. Michael.
“Jangan membantah, Eziel. Sudah seharusnya seperti ini.” Jawaban yang tidak memuaskan dari St. Michael membuat Eziel geram. Malaikat itu benar-benar serius ingin membunuh. Ini tidak bisa dibiarkan, pikir Eziel.
“Oh, Lord of Thunder and Skies. I summon one of your thunder, the one that will bring the destruction to your foe. Oh, the Lord.. i shall give you my pair of wings as a tribute! Then, allow me to use the sword of destruction. Einherjar!“
Eziel memulai upacara kecil untuk memanggil pedang dewa yang dapat menyaingi tombak milik St. Michael. Kedua sayap rapuhnya perlahan menghilang, berganti menjadi wujud pedang yang bersinar sangat terang. Lingkaran sihir di dada Eziel pun bersinar semakin terang, dan pijar-pijar listrik mulai menyelimuti dirinya. Eziel tahu, dia harus mengorbankan apa yang paling berharga, sekalipun itu harga dirinya untuk membela apa yang seharusnya benar. Dan sekaranglah saat itu.
“Hah… sudah kuduga akan begini jadinya. Eziel, kau berniat menentangku juga? Baiklah, ini akan berakhir menyakitkan. Bersiaplah, mungkin wilayah sekitar sini akan ikut hancur. Dan mungkin juga, sihir agar keberadaan kita semua tidak terdeteksi tidak akan bertahan lama. Jadi, siapkan doa terakhir untuk kalian sendiri, semoga Tuhan mengabulkan.”
St. Michael mengangkat tinggi-tinggi tombaknya ke udara, membuat langit membentuk pusaran yang semakin lama semakin menyeramkan. Bagaikan badai, pusaran di langit itu penuh dengan petir yang saling sahut menyahut. St. Michael menatap ke langit, tepat di tengah-tengah pusaran itu terkumpul energi dari petir yang maha dahsyat, jauh lebih kuat dari tombak petir yang dilontarkannya tadi. Sedikit lagi, maka petir itu akan membumi hanguskan wilayah tujuannya dan sekitarnya, tanpa sisa sama sekali.

“Wrath of Heaven. Kita tidak akan selamat jika terkena serangan itu.” Eziel mendongak ke langit. Wajahnya penuh rasa putus asa, karena merasa tidak berguna sama sekali disini.
“Sial, disaat begini gue butuh boss gendut itu. Kemana sih dia?” Dera menengok kiri dan kanan, mencari Earl.
“Earl, dia… sehabis menghajarku habis-habisan, dia dihajar oleh tombak petir milik St. Michael sekali lagi. Serangan itu telak mengenainya, jadi… lukanya cukup parah. Lalu dia melompat ke lubang hitam, dan kabur. Oh iya, dia menitipkan pesan.” Ujar Eziel, formal.
“Apa?” Dera yang merasa panik dan penasaran di saat yang bersamaan masih sempat bertingkah dingin.
“Take care of everything. If necessary, the Hell’s Paradise would be a good option.”
“Oh, oke. Ga percuma belajar teleportnya dia. Nama lo siapa ? Eziel ya ? Sori, gue minta darahnya sedikit.” Dera langsung menyayat lengan Eziel dengan kukunya yang tajam.
“Arrghh ! Bilang-bilang dulu kalo mau bikin syarat buat segel dong !” Protes Eziel.
Dera sibuk menggambar lingkaran kecil di tanah, dengan darah Eziel sebagai tintanya. Setelah selesai, telapak tangannya saling beradu. Menimbulkan pijar hitam, dan langsung menempatkan kedua telapak tangannya di tengah lingkaran. Dan lingkaran itu bersinar, dengan sinar merahnya yang terang.
“Kita mau kemana?” tanya Melody. Sepertinya gadis cantik itu sudah tidak asing dengan segala macam sihir yang dari tadi dipamerkan di hadapannya.
“Hell’s Paradise. Tempat paling asik di neraka.” Jawab Dera.
Muka Eziel langsung pucat begitu mendengar nama neraka. Dirinya yang merupakan seorang malaikat jelas akan menjadi bulan-bulanan empuk para penghuni tempat itu.
“Tenang aja, sekarang kan sayap lo gak ada. Enggak mungkin ada yang tau kok.” Ujar Dera, seakan bisa menebak isi pikiran Eziel.
Bersama dengan itu, cahaya emas dari tombak milik St. Michael berkumpul, seakan menyatu dengan kumpulan petir di langit, membentuk satu energi dahsyat yang siap di tembakkan ke segala arah yang malaikat besar itu mau. Dengan satu ayunan dari tombaknya, maka petir itu turun menyambar permukaan dengan skala besar. Petir yang bahkan sanggup memusnahkan satu kota. Disaat itu pula, Dera yang membaca situasi segera melakukan teleport pindah dari tempat itu. Segel dari lingkaran sihir memunculkan lubang hitam yang langsung menghisap Dera, Eziel, serta Melody ke dalamnya. Lenyap tak berbekas. Petir yang terarah tanpa sasaran, kini mulai menerjang membabi buta ke tanah. Siap untuk melenyapkan segala bentuk kehidupan. St. Michael akan membuat satu kesalahan besar jika petir itu sampai menabrakkan dirinya ke tanah. St. Michael yang melihat target buruannya telah kabur, terlambat untuk menarik kembali serangannya. Bencana tidak dapat terhindarkan lagi. Namun sekejap petir itu sirna. Hilang tak berbekas. St. Michael bingung, merasa linglung dan tidak mengerti apa yang terjadi. Dirinya melihat ke atas, menerawang jauh menembus langit. Lalu malaikat besar itu tersenyum. Senyum yang menyiratkan rasa lega yang luar biasa.
“Terima kasih Tuhan, engkau telah menyelamatkanku dari bencana yang akan kubuat.” Ujar St. Michael.

################################
EPILOG

Sementara itu di dalam lubang hitam, perjalanan menuju Hell’s Paradise…
“Hai, aku Melody.” Melody menjulurkan tangannya ke Eziel.
“Oh iya, aku belum tahu nama kamu tadi. Mari berkenalan ulang. Aku Eziel.” Eziel menyambut tangan Melody, menggenggamnya erat.
“Formal banget. Santai aja, gak usah kaku gitu.” Dera mengomentari gaya bicara Eziel.
“Iya.”
Eziel masih belum bisa percaya seratus persen terhadap Dera. Baginya, pasti laki-laki menyimpan motif khusus kenapa dirinya mau terpisah dari Earl. Dan alasan itulah yang sedang dicari tahu Eziel. Sementara itu, Melody masih terbayang-bayang dengan ingatannya yang perlahan mulai kembali, tepat saat dirinya berada dekat dengan Dera. Gadis itu termenung, mengingat-ingat waktu berharganya bersama Dera. Melody memeluk Dera erat, enggan untuk melepasnya pergi lagi.
“Syukurlah, kamu masih hidup ya der.. Aku seneng banget.” Ujar Melody polos.
Dera menatap Melody lekat. Laki-laki itu menghela napas. Napas yang begitu berat.
“Melody, coba kamu inget-inget deh. Aku udah mati. Kamu yang hidupin aku dengan kekuatannya Earl, dengan syarat ingatan kamu semuanya tentang aku ditanam di ingatan aku. Itulah alasan kenapa ingatan kita sama, dan kenapa kamu selalu sakit kepala tiap ingat segala sesuatu yang berhubungan sama aku.”
Melody tersentak kaget. Bayang-bayang kejadian enam tahun silam perlahan datang menghinggapi benaknya.

#################################
6 tahun lalu…
5 Maret 2007

Melody melihat selembar kertas usang, dengan “Contract” sebagai judulnya. Melody memandang Earl yang terus tersenyum licik ke arahnya. Gadis itu sadar, harus ada sesuatu yang di korbankan agar Dera bisa hidup kembali. Dan syarat itu adalah, ingatan Melody tentang Dera. Hanya itu yang menghubungkannya dengan Dera. Melody yang sedang kalut, menggigit jarinya sendiri karena merasakan pilihan yang amat sulit. Dia yakin, jika memang benar Dera bisa hidup kembali maka dia tidak akan bisa mengingat kembali sosok Dera.
“Kau bisa terus mengingatnya, Melody…” Suara Earl lirih, terdengar di telinga Melody.
“Aku hanya menempatkan ingatan mu pada tubuh yang kosong itu. Sebagai pelatuk baginya untuk memanggil jiwanya kembali. Tidak lebih. Ingatan kalian akan menyatu. Bukankah itu bagus, Melody?” Earl mencoba meyakinkan Melody.
“Bagaimana aku harus menjalin kontrak ini?” tanya Melody. Tatapan matanya menyiratkan kegetiran yang amat sangat.
Earl menghampiri Melody. Iblis itu memegang tangan gadis cantik itu, kemudian dituntunnya tangan itu menuju pelipisnya yang robek.
“Darah. Warnai kertas ini dengan darahmu. Dengan begitu, kontrak akan terjalin.” Jawab Earl.
Melody mengambil napas panjang. Napasnya rasanya begitu berat. Pertaruhan ini begitu sulit, Melody masih tidak yakin jika dirinya bisa bertemu lagi dengan Dera.
“Percayalah, gadis cantik. Cinta yang memisahkan kalian, dan karena cinta itu pula… kalian akan bersatu suatu hari nanti.” Wajah Earl yang tadi bengis berubah drastis menjadi lebih bersahaja. Tidak lagi tampak kesan menyeramkan darinya.

###############################
Melody semakin bingung. Dirinya kalut. Ini lah yang sebenarnya terjadi. Potongan memori ini yang paling ingin dilupakan Melody. Namun memori itu terus mengalun, memaksanya untuk menyaksikan sendiri dosa di masa lalu nya.

##############################
Melody menyeka darah yang masih keluar dari pelipis, dengan ibu jarinya. Kemudian mencorengnya di sebuah kertas usang. Dan Earl tersenyum menyeringai sangat lebar, puas mendapati dirinya bisa meyakinkan salah satu calon korbannya.
“Tutup matamu, gadis cantik.” Perintah Earl.
Melody menutup matanya. Dalam kegelapan, Melody merasakan pusing yang amat sangat, rasanya seperti ingatannya memudar. Dan benar saja, ingatan itu menjelma menjadi kabut merah tipis, keluar perlahan dari kepalanya. Earl menjentikkan jarinya, lalu muncullah peti mati dalam keadaan berdiri disamping Earl. Iblis itu langsung membuka peti, membiarkan kabut merah itu meresap masuk ke dalamnya. Suasana hening, tidak ada satupun suara yang sekarang terdengar. Earl menjentikkan jarinya sekali lagi. Melody membuka mata, dan mendapati Dera berada di hadapannya. Tatapan Dera kosong, wajahnya pucat membiru. Namun Melody menangkap ada aktifitas pernapasan dari tubuh itu. Dera hidup kembali! Melody merasa senang yang amat sangat, mendapati keinginan terbesarnya telah terkabul.
“Sampai bertemu lagi, Melody. Sampai nanti, jarum tenun takdir mempertemukan kita kembali. Dan saat itu bukan sekarang.” Earl berbisik di telinga Melody.
Gadis itu menatap putus asa ke Earl. Melody menggeleng-geleng, tangisnya pecah. Dirinya merasa dibohongi oleh iblis itu. Melody berusaha meraih Earl, mencakar-cakar tubuhnya dengan kuku jari itu. Namun yang di dapatinya hanyalah udara. Melody tidak dapat menyentuh Earl sama sekali.
“Adios, Senorita.”
Earl menjentikkan kembali jarinya, tepat di hadapan Melody. Gadis itu perlahan kehilangan kesadaran, cahaya yang ditangkap matanya kian meredup. Sampai akhirnya pemandangan sekitar menjadi gelap. Melody jatuh tertidur.

##############################
Tanpa sadar gadis itu menitikkan air mata, makin lama makin deras hingga tak mampu dibendung lagi. Dera mendekapnya erat, mengusap-usap kepala Melody. Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Dera, memeluknya erat seakan tak mau dilepas lagi.
“Sekarang, semua akan baik-baik saja. I’m promise, i will protect you no matter what happen.” Hibur Dera.
Eziel, yang hanya menjadi penonton tidak tahu harus berbuat apa. Baginya, ini terlalu berat.
Yang bisa dilakukannya sekarang adalah, menyadarkan St. Michael dari rencana gilanya. Dan mengirim Earl ke dunia iblis tanpa pernah bisa keluar lagi. Tapi, bagaimana caranya? Eziel sontak teringat dengan satu arch angel yang begitu bijak. Yang berdiam di Eden, dan Eziel tahu betul bahwa sekarang saatnya. Ya, dia harus menemui St. Gabriel untuk mencari pemecahan masalah ini. Malaikat itu pasti tahu apa yang harus diperbuatnya.