Cerita Ngentot AKSI LIAR DI TENGAH MALAM 1
Ach, alangkah eloknya pantai Sanur di waktu senja, gumamku di sela-sela kesepian yang menyelimuti kesendirianku petang itu. Ternyata sudah hampir dua jam lamanya aku duduk-duduk bernaung di bawah tenda kafe ini sambil menikmati pemandangan pantai Sanur, seolah-olah waktu berlalu begitu cepatnya, ketika kulirik jam tangan G-Shock yang melingkar di lengan kiriku, sudah hampir jam 6 sore.
Sebenarnya aku tak pernah semalas ini sebelumnya, dapat kupastikan tak pernah sekalipun! seingatku, baru kali ini aku menjadi seorang pemalas yang kerjaannya hanya membuang-buang waktu tanpa melakukan sesuatu apa pun, selain memikirkan masa lalu ditemani gemuruh ombak pantai yang sesekali tampak menggelora, seperti gejolak masa mudaku. Yah, kupikir sesekali bermalas-malasan seperti ini oke juga! aku bagai sedang menikmati hidupku, masa mudaku, tanpa memikirkan diktat-diktat kuliah yang menumpuk di meja belajarku di Melbourne. Mengingat kota itu, sama saja mengingat segudang tugas kuliah, laporan praktikum, dan tampang dosen paling eksentrik di kampus, Mr Brown. Menjengkelkan!
Oke, sampai disini aku rasa aku sudah kebanyakan basa-basi. Aku lupa kalau aku harus memperkenalkan diriku, lucu yah?!? pepatah bilang: Tak kenal maka tak sayang, benar nggak? Namaku sebut saja Steve, I’m 23 years old in the mid of this year. Aku asli warganegara Indonesia, sekalipun di dalam darahku, mengalir darah campuran Western dan Chineese. Kini aku berada di Bali hanya dalam rangka berlibur, setelah aku menyelesaikan studiku di Melbourne.
Mungkin, para pembaca yang kucintai bertanya-tanya, mengapa aku menulis untuk situs ini? Apa aku kurang kerjaan? Tentu saja, tidak! lantas, mengapa aku menulis untuk kolom sesama pria? Apakah aku ini gay atau homoseksual? Mungkin! Aku pun kadangkala bingung sendiri dengan orientasi seksualku, apakah aku ini gay? Tetapi kalau divonis seperti itu, aku sendiri tak bisa menjawab iya! Petualangan cintaku sebetulnya cukup banyak dan mungkin bagi sebagian orang tampak begitu rumit. Aku juga pernah jatuh cinta pada wanita, bahkan sekali waktu aku pernah memacari dua wanita sekaligus dalam kurun waktu yang bersamaan, namun tak bertahan lama. Kami putus setelah mereka sadar bahwa aku ini bukan tipe cowok yang setia, hah. Bagaimana bisa setia kalau cintaku harus terbagi fifty-fifty.
Waktu duduk di bangku SMU, aku juga pernah beberapa kali berpacaran dengan beberapa gadis top di sekolah, tapi yang paling berkesan tentu saja dengan seorang anggota cheerleader, sebut saja namanya Mawar. Dia adalah pengalaman pertamaku, mengenal apa yang disebut hubungan seks. Sampai detik ini, aku tak pernah lagi melakukannya dengan wanita, sekalipun di Melbourne kesempatan untuk berbuat seperti itu terbuka lebar untukku. Tetapi, disela-sela perjalanan cintaku dengan beberapa cewek itu, aku tak bisa mengingkari, bahwa ada terselip nama beberapa orang teman cowok yang pernah mengarungi lautan asmara bersamaku. Itu yang coba kuceritakan pada para pembaca saat ini, satu demi satu berdasarkan apa yang aku ingat. Setidaknya ada tiga orang yang menorehkan kesan mendalam untukku, Denny, Valent, dan seorang lagi adalah cowok Taiwan yang satu kelas denganku di Melbourne, sebut saja namanya Zai-Zai.
Aku mulai dari Denny, teman cowok yang aku kenal ketika kami sama-sama duduk di bangku kelas 3 SMP. Kami memang tidak satu sekolah, aku mengenalnya dalam sebuah pertandingan volley antar sekolah dimana team volley kebanggaan sekolah kami bertemu dengan team sekolah Denny di babak final. Dengan tidak melebih-lebihkan, jujur kuakui kalau Denny itu jago banget main volley. Pantas, kalau teman-temanku yang mengenalnya sebelum aku, menyebut Denny “sang Maestro dari SMP 12”, kehebatannya dibuktikan dengan menang telak atas tim sekolahku waktu itu. Tetapi meski begitu, ia tipe cowok yang low profile, dan itu yang paling aku suka dari kepribadiannya. Kalau bicara tentang penampilan fisik, sekalipun bagiku itu nomor dua, Denny tak terlalu mengecewakan. Senyuman dan tampangnya sekilas mirip bintang iklan mie gelas yang ada di TV, aku tak tahu nama bintang iklan itu, tapi kurang lebih seperti itulah Denny.
Sesaat setelah pertandingan final usai, dan tim Denny dinyatakan sebagai pemenang, Aku masih ingat betul ketika anggota tim kami dan tim lawan bergantian saling berjabat tangan dan saling peluk sebagai tanda persahabatan dan sportivitas. Ketika giliranku memeluk tubuh Denny, aku seolah merasakan getaran batin yang begitu kuat di dadaku, aku deg-degan! Kupikir, barangkali itu dikarenakan aura Denny yang memancarkan karisma yang begitu kuat di dalam dirinya. Hah, Denny. Mengingatnya, membuat gejolak dan gairah masa remajaku bangkit kembali. Kini, Aku memang merindukannya, ingin sekali aku bertemu dengannya dan mengulangi apa yang pernah kami lakukan ketika usia kami masih dianggap anak bau kencur.
Suatu sore, aku merasa kejenuhan yang teramat sangat. Entah mengapa, aku sendiri tak tahu. Tapi yang jelas, aku lagi BeTe. Kerjaanku sejak siang hanya mengurung diri di kamar, tapi tak bisa tidur. Sesekali aku keluar hanya untuk mondar-mandir bak orang linglung. Lama-kelamaan aku bisa gila kalau tidak melakukan apa-apa, pikirku. Papa dan Mama belum pulang, sebenarnya ini merupakan kesempatan besar bagiku kalau aku mau “kabur” dengan BMW kesayangan papa. Papa nggak akan mengijinkan aku keluar kalau ia sudah datang, apalagi membawa BMW-nya. Katanya, saat berkumpul bersama keluarga adalah saat yang sangat penting. Hah, omong kosong! Tiap hari mereka berdua keluyuran sendiri dan pulang tidak pernah sebelum jam delapan, sementara aku dilupakan. Kalau pun ingat, paling-paling hanya dibawakan oleh-oleh sebungkus fried chicken kegemaranku.
Aku pun tak mau mengulur waktu lagi, aku harus pergi sekarang atau tidak sama sekali! Aku cepat-cepat saja kembali ke kamarku, menukar kaos oblongku dengan kaos kutung. Kalau keluyuran, aku lebih suka pakai kaos kutung. Aku memang tak begitu acuh dengan pakaian dan formalitas. Kalau enak dan aku suka, yah kupakai! Lagian, kata beberapa teman, lenganku berotot, jadi tampak seksi kalau aku pakai kaos kutungan. Hah, mereka memang ada-ada saja. Coba yang bilang begitu bukan orang berotak rada sinting seperti mereka, pasti PD-ku bakal lebih meningkat!
Aku tahu pasti dimana papaku biasa menyimpan kunci duplikat BMW-nya, yaitu di laci kamar yang kadang-kadang tidak dikunci kalau waktunya Mbok Ran membersihkan kamar. Dan sungguh, Dewi keberuntungan memang berpihak padaku sore itu, maka langsung kusikat saja sebuah kunci mobil dan STNK dari dalam laci kamar papa yang memang tidak dikunci. Mbok Ran memergokiku dan beliau sempat mencegahku, tapi aku cuek saja, malahan aku menggodanya dengan mencium pipinya dan langsung kabur. Cewek mana sih yang tidak akan terhipnotis setelah mendapat ciuman mautku? Kujamin, pasti Mbok Ran tidak akan membasuh mukanya sampai hari ketujuh, hah. Anak juragan yang nakal!
Sore itu sebetulnya aku sudah tahu pasti kemana aku akan pergi dengan BMW papaku, yaitu ke SMP 12. Sore itu jadwal Denny latihan volley di sekolahnya, dan ia biasanya selesai latihan jam 6 sore, sepuluh menit lagi! Aku ingin sekalian menjemputnya dan sesudah itu mengajaknya jalan-jalan ke mall. Supaya Denny tidak pulang mendahuluiku, maka kuputuskan untuk menelponnya dulu. Hampir saja aku terlambat, Denny sebetulnya sudah selesai latihan saat itu dan ia memang akan segera pulang. Tapi begitu aku menelponnya dan menawarinya jalan-jalan, Denny tak kuasa untuk menolak. Anak satu ini ternyata suka keluyuran juga, gumamku seusai menutup HP sambil nyengir. Tak lama kemudian, aku sudah sampai di depan pagar SMP 12, di ujung jalan, Denny sudah tampak menungguku dengan memegang sebuah bola volley ditangannya.
“Mau jalan-jalan kemana, Steve?” tanyanya setelah duduk di sampingku di jok depan. Aku memandangnya sesaat sambil nyengir.
“Pokoknya ikut aja!” sahutku sambil menggerakkan persneling di samping pahaku.
Sejenak, sempat kuperhatikan pakaian sport yang dipakai Denny, kaos kutung dan celana pendek birunya yang sama persis dengan yang dipakainya ketika pertandingan dulu. Tak luput juga dari perhatianku, betis dan separuh pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Tapi jangan berburuk sangka dulu, waktu itu aku tidak berpikir jorok sama sekali, hanya saja aku sedikit kaget karena kupikir agak tidak wajar kalau usia seumuran kami, sudah punya bulu-bulu selebat itu, betisku saja sampai saat itu masih mulus.
“Gila, bulu kamu lebat banget, Den!” kataku sambil berdecak dan berlagak seolah aku mengaguminya, memang!
“Emangnya kenapa? enggak boleh?” tantang Denny.
“Enggak, enggak pa-pa kok! aku cuma rada iri, hehe,” sahutku ngocol.
“Oh, gitu yah? kayak orang yang nggak punya bulu aja! Jangan pura-pura deh, yang disembunyiin pasti lebih lebat dari punyaku!” sahut Denny ngasal. Aku sih hanya senyam-senyum saja mendengarnya.
“Kalau kepengen tahu, bilang aja terus terang!” kataku dalam hati.
“Steve, antar aku pulang dulu yah. Masak jalan-jalan pakai baju beginian?” pinta Denny lagi.
Ia lantas menyebutkan alamat rumahnya yang tidak begitu jauh dari sekolah. Aku sih setuju saja mengantar Denny pulang dulu, biar sekalian aku juga tahu dimana rumahnya.
Setiba dirumahnya, Denny mengajakku masuk sebentar sementara menunggunya mandi dan ganti baju. Aku menunggu Denny mandi kurang lebih sepuluh menitan di ruang tamunya yang cukup luas. Sesudah itu, Denny turun dari kamarnya di lantai dua dengan pakaian yang tak jauh beda dengan pakaian yang aku pakai, setelan celana jeans dan kaos kutung, hanya saja ia melapisinya dengan jacket.
“Oke aku siap!” kata Denny kemudian sambil menutup restsleting celananya yang masih setengah terbuka karena terburu-buru. Denny keluar lebih dahulu, sementara aku menyeruput habis orange juice-ku yang masih tersisa separuh di atas meja tamu.
Singkat cerita, malam itu kami sempat berkeliling kota, berjalan-jalan di mall sambil menebar pesona, dan makan malam di salah satu restoran fast food. Tak begitu mengecewakan acara yang kami buat malam ini, paling tidak saat di mall, kami sempat berkenalan dengan beberapa orang gadis cantik, yang salah seorang diantaranya ternyata seorang artis sinetron.
Aku dan Denny memutuskan pulang setelah jam 10 malam, entah mengapa aku begitu senang malam itu. Aku benar-benar lupa bahwa ketika aku sampai di rumah nanti, aku harus siap menerima dampratan dari papa plus omelan dari Mama, atau paling parah aku tidak akan diberi uang saku selama seminggu. Tapi aku mulai merasa galau ketika dalam perjalanan pulang, pikiranku tidak bisa tenang memikirkan hukuman apa yang akan aku terima nanti. Dengan takut-takut, aku memutuskan untuk menelepon ke rumah setidaknya mengabarkan kalau aku pulang telat malam ini. Untunglah, yang menerima teleponku Mbok Ran. Dari beliau juga ku ketahui bahwa papa dan Mama tidak pulang malam ini karena harus menemani relasi papa menginap di hotel.
“Mbok Ran, aku malam ini kayaknya juga nggak pulang, aku nginap di rumah temanku, kerja PR!” kataku mengada-ada.
Padahal, aku belum bilang pada Denny, kalau aku mau menginap di rumahnya. Setelah, telepon kututup. Denny memandangku sambil mengernyitkan kening.
“Nginap di rumah teman? kerja PR? teman mana yang kamu maksud?” tanya Denny.
“Temanku yang di kutub selatan. Siapa lagi? ya kamulah! boleh kan aku nginap di tempatmu malam ini? kebetulan papa dan Mamaku nggak di rumah malam ini. Please,” pintaku sambil berlagak memelas.
Denny tampak berpikir sebentar sambil mengernyitkan keningnya dan menggigit-gigit bibir bawahnya, seolah-olah keberatan menerimaku menginap di rumahnya.
“Ayo dong, jangan pelit-pelit! apa perlu bayar untuk nginap semalam?” gurauku masih dengan nada memelas. Lucu, baru seminggu kenal, sudah bisa seakrab gini.
“Oke, aku bilang sama ortu-ku dulu, sekalian aku tanya tarif sewa hotelnya semalam! soalnya yang punya hotel kan mereka. Tapi kalau seandainya ortu-ku lagi nggak mood or nggak setuju, jangan maksa loh yah! Lagian, belakangan ini banyak kasus perampokan rumah sih, jadi kemungkinan besar ortuku nggak sembarang terima orang iseng yang mau nginap,” kata Denny sambil bermimik serius.
“Brengsek, emangnya aku maling apa?!?” sahutku ketus.
Tak lama sesudah itu, kami sampai di rumah Denny yang tampak asri sekalipun tak terlalu mewah dibandingkan rumah tetangganya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, malam itu kedua orang tua Denny tidak keberatan sama sekali kalau aku menginap di rumah mereka, bermalam sekamar dengan Denny di lantai dua. Denny mengantarku ke dalam kamarnya yang lumayan besar dan sejuk. Kupikir, kamar Denny masih lebih nyaman daripada kamarku.
Di sudut ruangan, tampak satu set meja belajar dengan buku-buku yang tertata rapi, disebelahnya ada seperangkat televisi, tape compo dan playstation. Semua koleksi CD-nya pun tertata apik disebuah rak panjang disebelahnya. Ternyata, Denny bukan cuma keren, namun orang yang perfeksionis dan cinta kerapian. Jauh berbeda dengan sifatku yang rada “jorok”, hehe. Tetapi, para sesepuh bilang kalau “perbedaan itu indah”! (hah, membela diri nih!)
Wah, ini awal dari kisah yang menegangkan dalam ceritaku ini. Bermula pada saat Denny melepaskan pakaiannya satu per satu di depan mataku tanpa rasa canggung sedikit pun. Kala itu, pintu sudah terkunci, bahkan berani kupastikan seekor kecoa pun tidak akan bisa masuk, apalagi gajah! Entah kenapa, bagai terhipnotis, mataku melotot tak berkedip memandang tubuh mulusnya yang sesaat dipamerkan di hadapanku. Dadanya yang bidang dan putih mulus, perutnya yang datar, dan lebih lagi bulu-bulunya yang tampak mulai lebat di dada dan ketiaknya.
Denny tampak begitu macho dan jauh lebih seksi dengan bertelanjang dada dan hanya dibungkus oleh celana jeans ketat dengan sabuk besi yang mulai dibukanya perlahan. Denny bahkan sama sekali tidak canggung, bergerak kesana kemari di hadapanku sambil melepaskan pakaiannya dan kemudian menggantungnya satu per satu di balik pintu kamar.
Sementara aku, denyut jantungku berdegup lebih kencang, dan untuk sedikit menenangkannya, aku merangsek ke tengah spring bed sambil bersandar di tembok. Tatapan mataku belum lepas dari Denny. Entahlah, kurasa aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya ketika memandang tubuh teman-teman priaku. Bahkan sekalipun aku sering mandi bersama dengan kakak cowokku dan sama-sama dalam keadaan telanjang bulat, aku tidak merasakan apa-apa.